Karawang

Pasien Covid-19 Bukan Aib

Imam Al Husaeri Bahanan

KARAWANG, RAKA – Kembali ke rumah dan melakukan rutinitas seperti sediakala setelah menjalani isolasi di rumah sakit menjadi hal yang sangat disyukuri bagi penyintas Covid-19. Keluarga dan kerabat menyambut dengan bahagia, namun tak sedikit yang was-was dan menjaga jarak. Hal ini dialami oleh Imam Al Husaeri Bahanan, kabid Dalduk Advokasi Data dan Informasi DPPKB Karawang.

Imam telah dua pekan menjadi alumni Covid-19, ia menganggap menjadi pasien Covid-19 bukanlah aib. Meski demikian ia menghargai sikap orang lain yang menjaga jarak dengan dirinya. Wajar pula jika mereka menjaga jarak dengan orang yang dianggap kontak erat dengan pasien corona. Ia memaklumi selama hal itu tak disertai panik berlebihan yang malah bisa membuat turunnya imunitas tubuh. “Artinya masih punya kepedulian untuk kesehatan dirinya dan keluarga, manusiawi,” tuturnya, Senin (7/12).

Pasca isolasi, ia memutuskan untuk menjadi relawan meski sekadar menyampaikan informasi terkait Covid-19. Ia kerap membuat konten seputar corona terutama melalui sosial medianya. Ia juga tak sungkan untuk memfasilitasi bila tetangga, komunitas, dan lingkungan kerjanya yang bertanya seputar Covid-19 terlebih jika ada yang terpapar. “Urus-urus corona juga harus ada relasi,” ujarnya.

Ia sendiri melihat situasi saat ini sudah darurat Covid-19, terlihat dari informasi publik dan media tentang lonjakan pasien konfirmasi positif. Bahkan pemerintah Kabupaten Karawang mesti membuka ruang fasilitas kesehatan baru bahkan menjadikan hotel sebagai tempat perawatan isolasi. Ia juga prihatin mendengar kabar adanya pasien corona yang masuk daftar waiting list karena fasilitas kesehatan yang penuh.

Mirisnya, keadaan darurat ini bertolak belakang dengan fenomena di masyarakat. Menurutnya bukan hal yang aneh jika jumlah pasien terus melonjak, toh tempat keramaian sudah berjakan normal mulai dari pusat perbelanjaan, tongkrongan, dan pesta hajatan. Begitupun dengan acara keagamaan, kegiatan sosial, dan acara komunitas yang sangat terbuka tanpa protokol kesehatan. Ia melihat imbauan hingga ancaman pihak terkait seolah tak berpengaruh. Masih dituturkan Imam, saat ini menjadi pasien Covid-19 bukanlah hal yang mengejutkan tak seperti awal pandemi ini melanda. Covid-19 memasuki fase tak terkendali. “Mungkin ini yang pakar katakan, serangan gelombang ke dua covid lebih mengerikan, mengganas, dia ada di depan mata,” ungkapnya.

Parahnya, apa yang selama ini dikampanyekan dengan berbagai jargon seakan sekadar lips service, tak bernyali, diabaikan dengan macam alasan. Ia berpandangan abainya masyarakat sebab rasa jenuh dan ingin berinterkasi sosial sebagaimana sedia kala. Alasan yang manusiawi tapi tak dipikirkan akibat terburuknya. Tidak ada kebijakan yang mampu menyenangkan semua pihak, tak terkecuali kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 yang kerap dianggap tebang pilih bahkan dianggap konspirasi. Ia meyakini kebijakan yang diambil bukan sekadar aturan coba-coba tanpa adanya kajian. Wajar jika dalam suatu musibah ada yang dirugikan atau mungkin juga diuntungkan. “Tuhan punya rencana indah, bagi yang mampu mengambil hikmah dari sebuah kejadian. Itulah konspirasi sesungguhnya,” ucapnya.

Apapun pilihan dan sikap terhadap Covid-19 adalah hak pribadi, tapi sikap yang membantu tenaga kesehatan, perangkat desa, petugas keamanan bisa bernilai ibadah. Ketidakpedulian malah menguras alokasi anggaran pemerintah. “Hargai itu sebagai ritual ibadah, dan itu amaliyah,” pesannya.

Ia menyadari setiap orang punya cara pandang dan sikap berbeda menghadapi Covid-19. Namun menjaga protokol kesehatan adalah sebuah kearifan dalam bersikap. “Sebagai Alumni, Ijinkan aku percaya, karena aku percaya Takdir Tuhan sebagai konspirasi yang harus kita syukuri,” pungkasnya. (din)

Related Articles

Back to top button