HEADLINEKARAWANG

Perjuangan Tenaga Kesehatan Melawan Corona

TETAP SEMANGAT: Tiga orang perawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karawang mengepalkan tangan tanda semangat menghadapi corona, meski mereka sebelumnya pernah terpapar virus tersebut.

Pernah Terpapar, tak Kapok Bertugas

KARAWANG, RAKA – Jika dulu para pendahulu kita bertempur mati-matian melawan penjajah. Saat ini, kita melawan virus yang populer disebut corona atau CoronaVirus Disease-2019 (Covid-19). Virus yang kali pertama muncul di Wuhan, Tiongkok.

Tenaga kesehatan menjadi garda terdepan menghadapi Covid-19. Tak sedikit yang gugur saat menjalankan tugasnya. Hingga saat ini, pertempuran melawan virus impor tersebut masih berlangsung. Meski risiko tertular lebih tinggi dibanding masyarakat umum, bagi mereka tidak jadi soal. Begitu pun tenaga kesehatan yang pernah terpapar kemudian sembuh, tidak membuat mereka kapok menjalani tugas. Terpenting bisa melayani masyarakat dan memenangkan pertarungan melawan corona. “Tidak mungkin mundur. Sebagai tenaga kesehatan dan kepala puskesmas saya tidak mungkin kapok,” ujar Kepala Puskesmas Tanjungpura dr Endang Suryani saat berbagi cerita dengan Radar Karawang.

Endang menceritakan, bulan Maret 2020 lalu dirinya terpapar corona, karena saat itu daya tahan tubuhnya sedang lemah. Selain kesibukan acara pernikahan anaknya, banjir yang merendam tempat kerjanya juga membuat konsentrasinya bercabang dan cukup menguras tenaga dan pikirannya.
“Tidak terlalu cemas. Tidak ada rasa marah juga, tapi kaget ternyata corona ini sudah sampai di Karawang dan akhirnya saya sendiri yang positif. Intinya karena daya tahan tubuh sedang lemah,” tuturnya.

Sebagai seorang tenaga kesehatan dan kepala puskesmas, ia tidak trauma bertugas menangani dan mengendalikan Covid-19. Karena fungsi pengendalian dan penanganan terhadap virus tersebut sudah melekat di profesinya sebagai nakes. “Tidak bisa trauma, saya bahkan mengatur puskesmas pada saat delapan orang staf terpapar juga. Jadi vaksinator mau tidak mau ya harus mau,” ungkapnya.

Endang mengatakan, saat terpapar Covid-19 yang dirasakan hanya gejala ringan seperti pilek, batuk dan meriang. Tetapi karena sudah mengetahui bahayanya virus tersebut, dia juga tidak menampik jika saat itu ada sedikit rasa takut.
“Khawatir sama takut, manusiawi tetap ada. Dulu dirawat 14 hari di hotel Grand Karawang Indah,” ujarnya.

Tanggapan keluarga saat mengetahui dirinya positif corona, lanjut Endang, tidak terlalu panik karena kebetulan suami dan anaknya terlebih dahulu terpapar Covid-19. Sehingga sampai saat ini, tidak ada larangan dari keluarga untuk tetap bertugas sebagai tenaga kesehatan.
“Suami saya perhatian banget orangnya. Jadi sekarang selalu berpesan untuk menjaga prokes. Setiap pulang kerja sterilisasi dulu dengan bersih-bersih, baru kumpul sama keluarga,” tuturnya.

Hal serupa juga diutarakan Soni Arifandova, warga Desa Darawolong, Kecamatan Purwasari, yang bertugas di RSUD Karawang. Sejak awal tahun hingga saat ini, dirinya masih bertugas merawat pasien Covid-19, walaupun awal bulan Juli dirinya sempat terkonfirmasi postif virus corona dan menjalani isolasi mandiri di rumah. Kemanusiaan menjadi alasan mendasar bagi dia untuk tetap menjalankan tugas sebagai perawat.
“Intinya saya ingin membantu dan simpati ke keluarga yang terkena Covid-19,” kata Soni saat ditemui di RSUD Karawang, kemarin.

Soni menceritakan, sebelum memulai aktivitas segala persiapan sudah dilakukan dengan matang mulai memakai Alat Pelindung Diri (APD), hingga memastikan untuk tidak buang hajat sekalipun. Pasalnya saat memakai APD bisa tiga sampai empat jam, terutama ketika terjadi lonjakan angka positif corona di Karawang.

Hal serupa diceritakan tenaga kesehatan lainnya, Irmawati Nasution, nakes asal warga Sirnabaya, Kecamatan Telukjambe Timur, sempat terpapar virus corona pada 23 Juli 2021. Padahal dia baru bertugas bulan April 2021. Karena terpapar Covid-19, Irma terpaksa harus menjalani isolasi mandiri di rumah. Saat terkonfirmasi corona, Irma hanya merasakan anosima atau hilang penciuman dan demam.
“Saya hanya isoman di rumah 14 hari, gak sempet sesak napas juga,” kata Irma.

Sebelumnya, Irma bertugas di ruang anak, dia mengaku saat ditugaskan untuk merawat pasien Covid-19 pada bulan April tidak ada perbedaan yang menonjol, hanya saja beda suasananya.
“Pertama masuk ruangan pasien Covid-19 suasananya beda banget, kalau takut enggak, karena kita sudah pakai APD lengkap,” katanya.

Pengalaman sebagai tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 juga dirasakan oleh Ahmad Yani, seorang nakes bagian gizi di Puskesmas Tanjungpura yang terpapar beberapa bulan lalu. Gejala yang dirasakannya lebih parah. Setelah diketahui dirinya positif corona, seluruh tubuhnya merasa sangat sakit lemas. Fungsi penciuman pada hidung tidak berfungsi sebagaimana biasanya, dan juga sulit untuk bisa tidur. Kondisi tersebut dirasakan oleh Ahmad selama dua hari pertama. “Parahnya dua hari. Saya tidak bisa tidur,” ungkapnya.

Meski demikian, kata dia, tidak ada rasa trauma untuk tetap bertugas menjadi nakes. Dia masih tetap mau bertugas seperti biasanya. Dia juga mengaku kaget saat mengetahui dirinya terpapar corona. Karena APD lengkap sesuai protokol kesehatan selalu digunakan selama bertugas. “Kagetnya kok tiba-tiba saya kena. Tapi saya yakin bukan saat di puskesmas kenanya,” ujarnya.

Pada saat itu, kata dia, tidak ada rasa marah atau kesal. Tetapi ia merasa khawatir virus tersebut menular kepada keluarganya. Oleh karena itu, saat dirinya menjalani isolasi mandiri selama 16 hari, orangtuanya semua pindah ke rumah bagian belakang. “Saya di depan terus gak pernah ke belakang,” ucapnya.

Meski gejala yang dirasakan cukup parah, lanjut dia, orangtuanya tetap mendukung dan tidak melarang dia untuk terus bekerja sebagai tenaga kesehatan. “Orangtua sudah ngerti karena ini risiko nakes. Ortu selalu mengingatkan untuk selalu berdoa dan istigfar,” tambahnya.

Latifah, tenaga kesehatan di Rumah Sakit Fikri Medika yang juga pernah terpapar Covid-19 mengatakan, pertama kali yang dirasakan ketika terkena Covid-19, pegal linu pada badan dan demam sangat tinggi. “Saat saya sudah dinyatakan positif Covid-19. Saya langsung diisolasi di rumah sakit, serta dilakukan tracing kepada suami saya di rumah. Tentunya Saya merasa kaget dan takut keluarga yang lain terpapar juga. Namun Alhamdulillah setelah dilakukan tracing semua keluarga negatif,” jelasnya.

Latifah menuturkan, dia baru diperbolehkan pulang setelah dua minggu di rumah sakit. “Setelah pulang ke rumah dan dinyatakan negatif, pihak keluarga sangat mengkhawatirkan kondisi saya, namun tidak melarang saya untuk kembali bekerja,” tuturnya.

Latifah mengaku tidak merasa kapok atau trauma kembali bertugas. “Saya tidak pernah merasa kapok dan trauma, karena namanya membantu dalam hal kemanusiaan merupakan bagian dari pekerjaan dan sudah menjadi bagian dari konsekuensi dari pekerjaan”, tutupnya.

Di Purwakarta, Dewi, bidan di Puskesmas Sukatani mengaku pernah terpapar Covid-19. Namun dia tidak kapok. Setelah sembuh, Dewi kembali bertugas. Menurutnya, sudah menjadi risiko dan tanggung jawab petugas kesehatan. Tak hanya itu, dia juga mengaku pasrah dan tidak marah saat mengetahui dirinya positif corona. “Yang dirasakan pertama kali yaitu demam, flu, batuk, anosmia. Selama dua minggu isolasi mandiri di rumah,” ujar perempuan berusia 30 tahun itu.

Selain itu, keluarga besarnya pun tetap memberi semangat dan tidak melarang untuk bertugas kembali. “Hanya mengingatkan agar lebih safety,” kata bidan yang sudah bertugas selama sembilan tahun itu. (nce/mar/gan/cr8)

Related Articles

Back to top button