MENJELANG Pilkada serentak 9 Desember 2020, cukup banyak yang mendapat tawaran uang atau barang, atau mengetahui bahwa warga di lingkungan mereka mendapat tawaran tersebut. Dari yang mendapat tawaran, meski banyak yang tidak terpengaruh, namun cukup banyak yang terpengaruh uang atau pemberian yang ditawarkan tersebut.
Hal itu terungkap dalam rilis temuan survei pilkada dan politik uang di masa wabah Covid-19 yang digelar Lembaga Survei Indonesia secara daring, Minggu (10/1).
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan mengatakan, 17 persen dari 2000 responden yang disurvei pada periode 11-14 Desember mengaku ditawari uang atau barang untuk memengaruhi pilihannya pada Pilkada 9 Desember lalu. “Ada 17 persen dan itu cenderung lebih besar di kalangan laki-laki, kemudian cenderung lebih besar di kalangan yang berusia dewasa ke ke atas itu atau usia produktif,” ujarnya.
Djayadi mengatakan, dari segi pendidikan, responden yang paling banyak ditawari uang atau barang cenderung lebih banyak di kalangan yang berpendidikan menengah ke bawah. Kemudian, politik uang menyasar di kalangan yang secara pendapatan di kalangan kelas menengah ke bawah dan kalangan perdesaan. “Fenomena politik uang lebih banyak menyasar kalangan bawah, baik dari segi pendidikan dari segi kelas sosial, pendapatan, dan dari segi tempat tinggal desa dan kota,” ungkapnya.
Ia mengatakan, dari 17 persen responden yang mengakui ditawari politik uang, 36 persen mengaku tawaran tersebut berpengaruh kepada pilihan mereka. Hal ini menunjukan politik uang ini cukup tinggi mempengaruhi pilihan calon. “Maka itu mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa politik uang tetap marak di Pilkada kali ini,” kata dia.
Ia menjelaskan, 40 persen juga responden meyakini jika politik uang di Pilkada 2020 berpengaruh terhadap pilihan masyarakat saat pemungutan suara 9 Desember lalu. Angka ini sedikit lebih tinggi dari pengaruh politik uang bagi pribadinya untuk menentukan pilihannya yakni 36 persen. Bahkan, kata Djayadi, sekitar 29% pemilih menilai politik uang wajar, jumlahnya berimbang antara wilayah pilkada dan tanpa pilkada. Mereka yang menilai politik uang sebagai hal wajar, mayoritas akan menerima uang tetapi memilih sesuai hati nurani. “Hal ini menunjukkan bahwa baik di level sikap maupun tingkah laku, warga cukup toleran terhadap politik uang dan pernah mengalaminya pada berbagai tingkatan pemilu. Dengan demikian, upaya untuk menyosialisasikan pemilu tanpa politik uang masih harus terus dilakukan,” ucapnya.
Survei LSI dilakukan dengan metodologi menggunakan telepon ke 2000 responden yang dipilih acak dari database nomor telepon LSI. Database itu diperoleh dari survei face to face bertemu langsung responden dalam berbagai survei beberapa waktu terakhir. Survei menggunakan asumsi metode simple random sampling ukuran sampai 2000 responden memiliki toleransi kesalahan sekitar 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. (psn/jp)