Korban KDRT Takut Melapor
KARAWANG, RAKA – Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Karawang yang terekspose hanya beberapa saja, padahal banyak peristiwa memilukan itu justru dipendam oleh korban. Itu diungkapkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Karawang melalui sekretarisnya Amid Mulyana. “Di lapangan mungkin lebih banyak lagi, baik KDRT, korban kekerasan, pelecehan seksual,” terang Amid kepada Radar Karawang.
Ia melanjutkan, kecenderungan masyarakat enggan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini, diantaranya karena mereka merasa hal ini merupakan aib dan malu menceritakannya. Kemungkinan lainnya adalah mereka merasa takut dan merasa terancam jika diketahui melaporkan akan mendapatkan perlakuan lebih buruk dari pelaku kekerasan. “Juga karena ketidakatahuan, karena itu pengurus memberi sosialisasi kepada kepada masyarakat dan stakeholder untuk mawas diri terkait kasus kekerasan ini,” tambahnya.
Masih dikatakan Amid, pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak biasanya orang terdekat korban. Orang terdekat yang dimaksud baik itu ada keterikatan darah maupun keterikatan hubungan sosial seperti tetangga, teman kerja atau teman pergaulan. Untuk menangani kasus ini, P2TP2A tidak bisa bergerak sendirian, terlebih pihaknya tidak bisa begitu saja mendatangi korban dan pelaku terduga kekerasan, alih-alih menyelesaikan masalah malah dianggap mengurusi urusan rumah tangga orang. Mesti ada prosedur yang ditempuh yakni terlebih dulu adanya laporan dari korban, itupun nantinya terduga pelaku juga mesti dimintai keterangan. Adapun jika yang melaporkan adalah pihak lain misalnya tetangga, maka ada strategi khusus untuk menangani kasus tersebut. “SOP kita pun jika ada laporan hari ini harus segera ditindaklanjuti, tidak boleh lebih dari 24 jam,” jelasnya.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan Cempaka Putrie Dimala mengatakan, faktor ekonomi-sosial memang kerap menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Status sosial ekonomi rendah dapat memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. “Sepertinya ini alasan klasik, hanya saja ini memang nyata adanya terjadi di masyarakat kita,” terangnya.
Himpitan ekonomi dan beban tekanan sosial memicu stres. Pada umumnya seseorang ketika mengalami stres cenderung akan melampiaskannya, atau biasa disebut katarsis emosi. Sebagian orang mampu menyalurkan emosinya dengan cara yang tepat sesuai dengan strategi coping stress yang tepat. Namun sayangnya, adapula yang tidak mampu menyalurkannya dengan tepat. Pasangan yang cerewet atau anak yang rewel dijadikan peluang oleh seseorang untuk melampiaskan stres, sehingga terjadi kekerasan domestik dalam rumah tangga. Bukan tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi pada sebuah keluarga dengan ekonomi-sosial tinggi. Banyak faktor yang menjadi pemicu, namun pada umumnya terkait kesalahan komunikasi antara pasangan suami istri.
Cempaka menyampaikan, masyarakat kita kerap mensteorotipkan peran gender. Misalnya, urusan pengasuhan dan urusan domestik adalah tanggung jawab istri, sedangkan urusan keuangan dan nafkah adalah tanggung jawab suami. Padahal peran gender tida bisa digeneralkan. Pada kenyataannya ada saja peran dan tanggung jawab yang berbeda antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Dengan demikian perlu ditentukan pola komunikasi yang sesuai dengan karakter rumah tangga itu sendiri. Komunikasi dua arah pasangan suami istri memperkecil terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. “Tapi kalau komunikasinya satu arah, dimana semua beban dibebankan hanya pada salah satu peran, contoh semua urusan rumah tangga mulai dari mengasuh, membereskan rumah itu dibebankan kepada istri, sedangkan suami tidak ikut andil, tentu setiap istri itu bebannya berbeda,” jelasnya. (nce/psn)