Ladang Okra Potensi Ekspor

MELIHAT OKRA: Kusnadi, pemilik ladang okra di Telukjambe Timur sedang melihat tanamannya, kemarin.
Petani Telukjambe Jual ke Warga India
TELUKJAMBE TIMUR, RAKA – Kalau anda mengunjungi Dusun Sukamaju, Desa Telukjambe, Kecamatan Telukjambe Timur, terdapat satu area ladang cukup unik tepat berbatasan dengan Sungai Citarum.
Di ladang tersebut ditumbuhi tanaman yang daunnya sekilas nampak seperti ganja. Tapi tenang saja, ternyata tanaman tersebut memiliki nama ilmiah abelmochus esculentus yang memliki buah bernama okra. “Kita biasa nyebutnya okra, kalau di India namanya mindi,” ujar Kusnadi sang pemilik ladang kepada Radar Karawang, Senin (13/1).
Okra berwarna hijau dengan bentuknya yang mirip seperti oyong, namun dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih runcing. Kulit luarnya dipenuhi bulu-bulu halus, sedangkan bagian dalamnya terdapat barisan biji seukuran kacang polong. Kusnadi mengatakan, okra yang ditanamnya merupakan varietas India yang didapatkan dari seorang teman tahun 2014. “Jadi teman saya tuh dikasih bibit dan disuruh tanam okra sama bosnya yang orang India, saya penasaran terus dikasih sama dia,” ceritanya.
Barangkali okra terdengar asing di telinga kita, wajar saja karena okra bukan sayuran yang umum ada di pasar-pasar tradisional. Okra biasanya ditemui di supermarket modern atau di restoran dengan menu masakan India atau timur tengah. Bahkan Kusnadi mengklaim saat ini di Karawang hanya dirinya saja yang membudidayakan okra. “Pernah ada juga sebenarnya, tapi dia gak dilanjut mungkin bosan atau gak ada pasarnya, kalau saya kan mendalami,” tuturnya.
Kusnadi yang juga ketua RW 03 di dusun tersebut mengatakan, sebenarnya untuk menanam dan merawat okra cukup mudah dibandingkan tanaman ladang lainnya seperti timun dan kacang. Waktu panen pun dikatakannya relatif singkat, yakni sejak penanaman sampai masa panen hanya membutuhkan waktu 40 hari. Setelah itu okra masih terus berbuiah dan dapat dipanen kurang lebih selama enam bulan berikutnya. “Jadi kalau batang utamanya sudah mati bakal muncul tunas baru, bercabang dari batangnya yang bawah, terus nanti kalau mati lagi bakal tumbuh lagi yang lainnya,” paparnya.
Dalam sehari, Kusnadi bisa memanen Okra sampai 50 kilogram yang kemudian dijual kepada kenalannya seorang keturunan India dengan harga Rp13 ribu per kilogram. Orang tersebutlah yang menyalurkan ke beberapa restoran di Jakarta dengan harga jual Rp40 ribu per kilogram. Ia sebenarnya tertarik untuk dapat juga menjual langsung ke supermarket yang harga belinya mungkin akan lebih tinggi. Namun dia tidak punya akses dan belum tahu harus memulai seperti apa. “Kalau ada yang minta sekwintal sehari juga bisa,” imbuhnya.
Menurutnya Okra punya potensi ekonomi yang tinggi, bukan hanya sebagai bahan olahan masakan tetapi juga sepengetahuannya digunakan sebagai obat terutama bagi etnis Tiongkok. Bahkan di daerah Jawa Timur, okra ini diolah menjadi keripik dan menembus pasar ekspor. Ia sendiri belum bisa melakukan pengolahan mandiri karena terkendala modal. Kusnadi berharap pemerintah daerah dapat melihat potensi ini, dan membantunya untuk membuka jalan menuju pasar yang lebih besar. Jika demikian, tidak menutup kemungkinan petani di dusunnya juga bisa turut menanam okra. “Kalau 100 kwintal saja, orang juga pasti mau (menanam okra). Sekarang kalau mereka disuruh berkebun (okra) tapi pasarnya gak ada, ya pasti gak mau,” pungkasnya. (cr5)