2.814 Warga Karawang Terkena TBC
ELIMINASI TBC: SSR LKNU Sejabar bahas penyebaran TBC.
KARAWANG, RAKA- Penyebaran penyakit menular tuberkulosis di Karawang cukup tinggi, dari Januari hingga Juni 2020 lalu, ada 2.814 orang terdeteksi mengidap TBC.
Koordinator Sub-sub Recipient (SSR) Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Karawang Siti Lutfiyah Rahmani mengatakan, pihaknya memiliki 65 orang kader aktif di masing-masing wilayah puskesmas di Kabupaten Karawang. Kader ini terjun langsung ke lapangan untuk menelusuri masyarakat yang terindikasi penyakit TBC. “Selama Januari-Juni 2020 ini, hasil capaian indikator mencapai 2.814 orang,” katanya, Kamis (27/8).
Angkat tersebut, lanjutnya, dengan rincian jumlah indeks kasus yang diinvestigasi kontak sebanyak 802 orang, jumlah terduga TBC yang dirujuk 993 orang, jumlah terduga TBC yang dirujuk dan dites 650 orang dan jumlah kasus baru ternotifikasi 369 orang. “Temuan ini menurun jika dibanding dengan tahun 2019 karena ada Covid-19,” paparnya.
Lutfiyah menambahkan, jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah karena masih terdapat beberapa puskesmas yang kadernya tidak menemukan kasus baru. Selain itu, ada puskesmas yang tidak ada analis lab sehingga pemeriksaan dahak lama. “Kami berharap dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah daerah agar eliminasi penyakit TBC ini bisa sukses di Karawang,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Puskesmas Telukjambe dr. Nugraha menjelaskan, penularan TBC dapat dipicu faktor perilaku maupun faktor lingkungan. Faktor perilaku diantaranya adalah pengidap TBC tidak mengenakan masker atau menerapkan etika batuk padahal TBC ini menular melalui droplet. Selain itu tidak menjaga jarak antara penderita TBC dengan orang di sekitarnya juga menambah kemungkinan penularan. “Ketika ia batuk ludah itu menyebar di udara dan terhisap melalui hidung, termasuk juga penderita TBC buang dahak sembarangan,” ucapnya.
Adapun faktor lingkungan diantaranya adalah kurangnya sirkulasi udara di dalam rumah atau ruangan serta kurangnya sinar matahari yang masuk. Penghuni rumah yang terlalu padat dan tidak sebanding dengn luas rumah juga menambah kemungkinan penularan TBC. Perlu di ingat pula perilaku merokok dapat memperburuk kondisi penderita TBC dan menghambat proses penyembuhannya disebabkan kandungan berbahaya rokok yang menempel pada saluran pernafasan.
Mengenai penanggulangan TBC, Nugraha mengatakan pihaknya melakukan pelacakan suspek TBC 2 kali dalam setahun. Pelacakan menyasar pasien dengan gejala TBC maupun keluarga yang melakukan kontak erat dengan pasien TBC. Selanjutnya mereka mendapatkan pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) dengan sampel dahak yang diambil sewaktu kunjungan pertama ke puskesmas, pagi hari setelah bagun tidur, dan sewaktu kunjungan kedua (STS). Hal ini sebagai upaya menjaring pasien TBC dan mencegah penularannya kepada individu lainnya. “Disamping itu kita sosialisasikan kepada keluarga pasien agar jangan terlalu dekat dengan penderita, dan pasien harus terapkan etika batuk,” tambahnya.
Ia mengakui jumlah tenaga medis untuk penanggulangan TBC tidak sebanding dengan jumlah masyarakat d wilayah kerjanya. Saat ini hanya ada 1 petugas khusus pelaksana program terkait TBC yang dibantu oleh 12 bidan desa, tidak seimbang ketimbang jumlah warga di 5 desa binaannya yang mencapai 70.000 jiwa. Meski demikian dalam penjaringan TBC juga melibatkan lintas sektor serta kader TBC yang membantu puskesmas untuk melaporkan bahkan mengantar pasien gejala TBC berobat ke puskesmas. Sedikitnya di setiap desa terdapat 2 sampai 5 kader tergantung luas wilayah desa tersebut.
Masih dikatakannya, kesadaran masyarakat juga berpengaruh pada jumlah penjaringan pasien TBC. Masih ada masyarakat yang enggan melakukan pemeriksaan meskipun peralatan sudah lengkap dan pihaknya telah memotivasi. Masalah kesadaran ini juga terkait pasien TBC yang menjalani pengobatan, mereka kerap berhenti meminum obat saat merasa sudah lebih baik padahal belum dinyatakan sembuh. Hal ini bisa menyebabkan restisensi obat dimana mikroorganisme mampu menahan efek antibiotik. Jika demikian pasien mesti di rujuk ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan tahap kedua. Sebab itulah ada program pendamping minum obat (PMO) dari orang terdekat pasien untuk mengingatkan minum obat dan memperhatikan asupan gizi pasien.
Ia mengimbau pasien TBC untuk tetap melakukan pengobatan sampai dinyatakan sembuh. Ia mengingatkan masyarakat untuk dapat mencegah dengan menjaga jarak dengan penderita dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Sebaiknya gunakan masker ketika bertemu dengan sesoarang yang sudah diketahui mengidap TBC. “Kalau yang belum tahu tapi melihat gejalanya batuk, kurus, dan terlihat dari pernafasannya juga sesak misalnya yang sudah kronis, nah kita jangan terlalu dekat,” pesannya. (din/asy)