Anak Butuh Perhatian Ekstra
Psikis Bisa Terganggu Selama Pandemi
KARAWANG, RAKA – Klasifikasi ruang perawatan isolasi pasien konfirmasi Covid-19 di RSUD Karawang baru sebatas berdasarkan gender dan tingkat gejala pasien. Belum ada klasisfikasi berdasarkan usia yang memisahkan antara pasien anak dengan pasien dewasa.
Hal ini diungkapkan salah seorang ibu yang enggan disebutkan namanya, dalam wawancara pertengahan Desember lalu. Dia menuturkan, anaknya yang masih berusia 18 bulan terkonfirmasi positif dan terpaksa ditempatkan bersama pasien dewasa. Saat itu ia meminta pihak rumah sakit untuk menyediakan ruangan khusus untuk anak-anak. Sayangnya dalam kondisi gawat darurat Covid-19 sejak Maret 2020, belum ada klasifikasi ruangan pasien berdasarkan usia.
Setelah menjalani isolasi di RSUD, sang anak dinyatakan sembuh namun tetap harus menjalani isolasi mandiri di rumah selama 24 hari. Hal yang dikhawatirkan sang ibu adalah psikis anaknya selama menjalani semua tahapan isolasi, baik di rumah sakit maupun di rumah karena terlalu lama kurang berinteraksi. Baginya hal ini terasa lebih berat, sebab gadis kecilnya takut menghadapi orang atau mendengar suara keras, karena terlalu lama di dalam rumah dan kurang berinteraksi. “Beban psikisnya itu lebih tinggi, bagaimana ngebalikin dia jadi pede lagi, mau keluar lagi, berani menghadapi orang. Sampai sekarang pun dia masih bertahap,” ceritanya.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Cempaka Putrie Dimala mengatakan, seorang anak tidak bisa serta merta dapat dikatakan mengalami trauma pasca isolasi. Banyak tahapan dan penilaian indikator dari gejala psikis yang ditunjukan untuk menyatakan sang anak mengalami trauma. Namun memang dalam situasi pandemi seperti ini, anak memang secara psikis perlu beradaptasi, termasuk juga pasca isolasi.
Ia menjelaskan, anak usia 18 bulan sebetulnya belum memiliki pemikiran yang kompleks. Mereka belum tahu apa yang sebenarnya dirasakan, dan sekadar meniru apa yang dikatakan oleh orangtua. “Jadi harus hati-hati untuk dikatakan trauma, harus ada indikator kalau dia trauma,” terangnya.
Pada dasarnya, anak usia dini sangat lekat dengan orangtua. Orangtua mesti hadir memberi pemahaman dalam kondisi bencana alam, atau kondisi yang tidak diharapkan lainnya seperti pandemi Covid-19. Saat orangtua memberikan kelekatan yang hangat, anak akan merasa aman meskipun tidak stabil. “Anak itu kan tidak tahu kondisi yang terjadi pada saat ini, tapi dengan hadirnya orangtua yang memberikan kelekatan, pemahaman, dan edukasi dengab bahasa yang sederhana, itu bisa sangat membantu anak-anak untuk menghadapi kondisi yang tidak diharapkan,” paparnya.
Ia juga mengatakan, dalam kondisi darurat seperti ini tentunya tidak ada pihak yang punya rencana. Ia sendiri yakin pemerintah dan tenaga kesehatan telah berupaya semaksimal mungkin. “Dan lagi-lagi semuanya berproses untuk kebaikan,” ucapnya. (din)