KARAWANG, RAKA – Politik uang di pemilihan kepala desa (pilkades) seolah sudah menjadi tradisi bahkan sudah sulit dihilangkan. Semua bisa melakukannya, baik calon inkumben maupun calon debutan.
Masyarakat saat ini sudah tidak asing dengan adanya politik uang saat proses pemilihan kepala desa. Budaya ini susah untuk dihilangkan dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap calonnya. Munculnya budaya ini timbul dari pemikiran pragmatis masyarakat. “Susah sampai kapan juga saya gak tahu, ini berdasarkan dari pemikiran pragmatis masyarakat,” ujar Eka Yusuf, dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Unsika, Kamis (18/3).
Kemajuan desa akan menjadi nomor kedua setelah adanya budaya politik uang. Budaya ini pun terjadi di seluruh Republik Indonesia. Budaya tersebut mengakibatkan masyarakat akan memilih calon berdasarkan besarnya jumlah uang yang diberikan. Saat desa memiliki potensi penghasilan yang tinggi maka budaya dan biaya politik akan menjadi tinggi. Biaya politik pilkades dinilai lebih tinggi dari pilkada, hal ini disebabkan karena sikap gengsi dari setiap para calon. Selain itu karena sikap masyarakat yang apatis. “Saat proses ini akan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh uang yang banyak. Budaya tersebut akan berdampak pada beberapa sektor,” terangnya.
Maulana Rifai, Wakil Dekan Bagian Umum dan Keuangan Fisip Unsika menuturkan, masyarakat harus secara perlahan menghapus dan meninggalkan kebiasaan buruk ini. Hal ini sudah membentuk rantai mutualisme dari kedua belah pihak. Selain menghapus kebiasaan, harus adanya perubahan sistem agar budaya tersebut dapat berubah. Diperlukan pertimbangan dari segi psikologis, visi, misi, track record. “Kalau mau berubah masyarakat harus meninggalkan kebiasaan buruk,” pungkasnya. (cr6)