KARAWANG, RAKA – Pelaksanaan pemilu serentak 2019 menimbulkan banyak persoalan, salah satunya banyaknya petugas penyelenggara meninggal dunia. Di Karawang saja, ada 3 orang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan satu anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Gili Argenti, dosen ilmu pemerintahan Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) menuturkan, sistem pemilu Indonesia paling sulit dan rumit. Tetapi, memang masih ada kendala di lapangan, khususnya terkait proses perhitungan suara memakan waktu lama. “Karena, proses perhitungan suara yang melibatkan lima kotak suara. Sebenarnya jauh-jauh hari P2P (Pusat Penelitian Politik) LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sudah mengajukan pemisahan antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal,” ujarnya, kepada Radar Karawang, Minggu (28/4) kemarin.
Ia menjelaskan, untuk pemilu serentak nasional, memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI dan DPD. Sedangkan pemilu serentak lokal, memilih kepala daerah, DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten. “Manfaat dari pemisahan ini selain lebih efisien dan efektif, juga menjaga isu-isu lokalitas tidak hilang dalam kompetisi elektoral, karena ketika pemilu serentak nasional 2019 publik fokus pada pemilu presiden dan wakil presiden, sehingga narasi politik lokal lenyap, ini sangat disayangkan,” jelasnya.
Menurutnya, tujuan dari pemilu serentak untuk memperkuat sistem presidensial, sehingga pemilu presiden dengan pemilu legislatif dari partai sama, tujuan ini sudah tercapai. “Berdasarkan hitung cepat pemenang pilpres dan pileg dari koalisi partai yang sama, artinya akan memperkuatnya sistem presidensil kedepan,” ungkapnya.
Meski demikian, namun masyarakat masih kebingungan untuk menggunakan hak suaranya, karena masih minimnya sosialisasi dari para calon anggota legislatif kepada pemilih, sehingga pada saat pelaksananan pemilu belum bisa menentukan pilihannya. “Misal untuk calon anggota DPD RI bisa dikatakan informasi dan sosialisasi masih kurang maksimal, sangat berbeda dengan calon anggota legislatif DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten yang bisa dikatakan lebih masif dari pada calon anggota DPD RI,” kata Gili.
Masih dikatakan Gili, selain itu keterbatasan ruang di TPS menjadi kendala juga, bilik suara kurang lebar. Sehingga ketika pemilih membuka kertas suara sedikit kerepotan. “Salah satu solusi harus, menggunkan menggunakan e-voting sehingga perhitungan suara bisa lebih cepat. Karena ketika penghitungan secara manual, cukup memakan waktu lama. Selain itu harus ditunjang kesiapan dan kondisi kesehatan panitia pemilu, karena perhitungan suara lima kotak suara memakan energi banyak,” tuturnya.
Dengan banyaknya korban jiwa dan penghitingan surat suara memakan waktu yang cuku lama, karena langsung lima surat suara. Tentunya kendala ini, harus dicari solusinya bersama-bersama. Menurut Gili, bisa juga, dipisahkan antara pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak lokal. “Kedepan harus dipisahkan antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal, juga untuk beberapa wilayah yang memang padat penduduknya bisa dicoba sistem e-voting,” paparnya.
Sebelumnya, Ketua KPU Kabupaten Karawang Miftah Farid mengatakan, banyaknya petugas di lapangan meninggal dunia, tambah Farid, perlu dijadikan kajian bagi pemangku kebijakan, agar ada evaluasi untuk perbaikan kedepannya. “Kita dari daerah tidak ada rekomendasi, karena bukan kewenangannya. Biarlan ini jadi bahan kajian bagi DPR selaku pembuat undang-undang, pemangku kebijakan untuk melakukan evaluasi,” pungkasnya. (acu/asy)