RSUD KARAWANG: Bangunan megah RSUD Karawang di Jalan Galuh Mas Raya No 1.
KARAWANG, RAKA – Setelah sempat diam, dr Fitra Hergyana akhirnya bicara ihwal penunjukannya sebagai Plt Direktur Utama RSUD Karawang.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Kabupaten Karawang ini menilai wajar jika ada keraguan beberapa kalangan terkait kapasitasnya. Namun Fitra yakin akan mampu menjawab keraguan sebagian kalangan tersebut dengan kinerja yang nyata untuk masyarakat Karawang.
Dikatakan Fitra, di RSUD Karawang dirinya sudah empat tahun bertugas menjadi dokter spesialis kulit. Diakuinya pula, dia sudah dua tahun menjadi PNS melalui seleksi CPNS 2018.
“Terima kasih atas masukannya. Kedepannya Insya Allah ini menjadi energi positif untuk membangun RSUD agar memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Kita akan bersinergi dengan pihak-pihak terkait,” ungkapnya kepada Radar Karawang.
Fitra juga mengaku, dirinya sudah menghadap Sekretaris Daerah Kabupaten Karawang Acep Jamhuri yang juga Ketua Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Kabupaten karawang.
“Setelah saya dapat SP (surat perintah), hari Rabu saya menemui beliau meminta arahan dan bimbingan. Mengingat pak Sekda merupakan pimpinan saya,” kata Fitra yang juga menjelaskan bahwa pengangkatan dirinya atas sepengetahuan ketua Baperjakat.
Fitra lantas mengatakan, selain menghadap sekda, dirinya juga sudah menemui beberapa senior di RSUD Karawang. Dia mengaku siap menjalakan tugas baru yang telah diamanahkan kepadanya. Terutama terkait dengan pelayanan kepada pasien. “Kami akan terus membenahi pelayanan di RSUD Karawang. Amanah ini akan kami tunaikan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Sementara itu, secara terpisah, tokoh masyarakat Karawang Deden Darmansyah mengingatkan agar sebaiknya pengangkatan Fitra Hergyana sebagai Plt Dirut RSUD Karawang dianulir. Dia menilai, yang bersangkutan masih berpangkat golongan 3A dan baru satu tahun menjadi PNS.
Mantan anggota DPRD Karawang ini mengatakan, sistem pembinaan karir PNS seyogyanya menggunakan daftar urutan kepangkatan (DUK).
“Idealnya Dirut RSUD bergolongan minimal 4B, sebab dirut RSUD Kelas B sejajar dengan jabatan struktural eselon 2B atau setingkat kepala dinas atau kepala badan,” ujarnya.
Menurut Deden, kebijakan menunjuk Fitra sebagai Plt dirut RSUD ini akan ditertawakan oleh orang-orang yang paham payung hukum pembinaan karir PNS, selain menyakiti hati PNS fungsional yang lebih dulu berkarir di bidang kesehatan.
“Saran saya segera anulir SP yang sudah dibuat, sebab akan menurunkan citra bupati sebagai pembina kepegawaian, wakil bupati dalam kapasitas menjalankan fungsi pengawasan ke dalam, sekda sebagai ketua Baperjakat. Demikian pula BKPSDM sesuai tupoksinya,” tuturnya.
Terkait pernyataan Sekda Acep Jamhuri yang seolah tidak mengetahui penunjukan Fitra Hergyana, Deden mengatakan, sekda merupakan jabatan PNS tertinggi di pemerintah kabupaten/kota, sehingga sekda ex officio ketua Baperjakat. Secara normatif sekda yang bertanggung jawab atas pembinaan karir PNS dalam satu kabupaten maupun kota.
“Sehingga tidak mungkin sekda tidak tahu. Pasti tahu lah. Hanya saja ketika dihadapkan pada kepentingan user dan kepentingan poltik pimpinan daerah, maka sekda tidak akan berdaya alias mati kutu,” kata mantan anggota DPRD Jawa Barat itu.
Sama dengan pola open bidding alias lelang jabatan, lanjut Deden, pola open bidding pejabat di lingkungan pemkab/kota sarat dengan kepentingan politik. Untuk itu, dia menilai sudah sewajarnya lelang jabatan juga sebaiknya dihilangkan. Kembali ke marriet system berdasarkan DUK dan Baperjakat. Karena akhirnya tetap pada kepentingan-kepentingan user juga.
“Kalau saya jadi bupati maka saya akan menganulir kebijakan mengangkat Plt Dirut RSUD tersebut,” ujarnya.
Koordinator Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Kabupaten Karawang Gustiwan mengatakan, polemik yang terjadi usai Fitra resmi ditunjuk Plt Dirut RSUD merupakan hal yang wajar, karena ada sejumlah faktor yang mengejutkan dari penunjukannya. Menurutnya, menjadi direktur tidak cukup hanya sebagai seorang dokter, tapi harus mempunyai kemampuan dalam hal pengelolaan atau manajemen. Sebab setelah menjadi direktur, praktis Fitra akan disibukkan dengan urusan administrasi dan pembenahan bukan praktik. Menurut Gusti, keputusan Bupati Cellica Nurrachadiana menunjuk Fitra merupakan langkah yang kurang hati-hati dan tidak tepat. “Seharusnya Cellica menyadari kondisi Fitra. Selain merupakan ASN baru yang secara golongan mungkin tentu masih belum mencukupi untuk berada di struktur jabatan direktur. Fitra juga merupakan sepupu bupati, sehingga mustahil publik akan menilai obyektif akan keputusan bupati,” katanya. (nce)