METROPOLIS

Dukungan Fans Jadi Bahan Bakar Berkarya
Musisi Tumbuh Bersama Penggemar

Idol group JKT48 tidak pernah kehilangan pesonanya. Pasang surut industri musik tak lantas mengendurkan dukungan penggemar terhadap mereka. Apakah itu berkat fans service dan stage act mereka? Lantas, bagaimana dengan The Dare yang bahkan mengaku tidak pernah melakukan fans service?
Desember nanti, JKT48 merayakan ulang tahun yang ke-11. Wakil Kapten JKT48 Jinan Safa Safira mengatakan bahwa JKT48 tidak akan bisa sejauh ini tanpa dukungan penggemar. Bagi JKT48, fans adalah bahan bakar untuk terus berkarya. ”Fans lama atau baru sama-sama penting. Grup ini nggak akan bisa bertahan tanpa dukungan mereka semua,” ujarnya
Apa yang disampaikan Jinan bukan tanpa alasan. Konsep JKT48 adalah tumbuh bersama penggemar. Konsekuensinya, mereka harus memberikan banyak fans service. Selain itu, mereka juga menyelenggarakan banyak event untuk penggemar sehingga bisa saling mengenal. ”Kami mau untuk bisa lebih mengenal teman-teman yang mendukung JKT48. Supaya mereka juga bisa lebih mengenal para member JKT48 sehingga menjaga hubungan baik antara kami dan para fans,’’ urainya.
Sebagai musisi, JKT48 sangat produktif. Sejak kali pertama kemunculannya pada akhir 2011, JKT48 tidak sekali pun hiatus. Termasuk saat pandemi Covid-19 melanda. JKT48 tetap mengeluarkan single pada 2020, 2021, dan 2022.
Sebagai idol group, JKT48 konsisten ”merawat” penggemarnya. Tidak hanya fans service yang terjadwal tiap bulan atau tiap pekan, tapi bahkan tiap hari. Terutama sebelum pandemi. Mulai dari pertunjukan rutin Teater JKT48, eye lock dari member kepada penonton, sampai tos alias high touch dengan ucapan terima kasih untuk para penggemar yang datang.
Di samping rangkaian perhatian yang bisa bikin baper itu, JKT48 juga memberlakukan berbagai larangan untuk para member-nya. Di antaranya, larangan salaman, larangan foto bersama, hingga merespons penggemar di media sosial. Sebagai ganti larangan salaman, ada handshake event. Yakni, acara salaman antara penggemar dan member JKT48 yang dulu biasanya dilakukan tiap kali merilis single.
Aturan handshake event ala JKT48 sangat ketat. Satu penggemar punya kesempatan 10 detik untuk berinteraksi. Mereka mendapatkan 10 detik itu setelah membeli single. Jika ingin lebih dari 10 detik, ya tinggal membeli single lagi.
Pandemi membuat JKT48 harus menyesuaikan fans service ala mereka. Kini JKT48 punya aktivitas video call yang konsepnya mirip dengan handshake. ”Aku paling suka video call karena jangkauannya sangat luas,’’ tambah Jinan.
Berbeda dengan JKT48, The Dare justru tidak mengenal fans service. Empat perempuan muda itu tidak pernah menganggap diri mereka sebagai figur publik, apalagi idola. Karena itu, mereka merasa tidak perlu adanya layanan khusus untuk penggemar musik mereka. ”Jadi, The Dare masih berinteraksi seperti biasa, selayaknya teman kepada teman,” ujar Meigali, basis The Dare.
Interaksi dengan penggemar bisa terjadi di mana saja. Perjumpaan setelah manggung di area pentas hingga berkomunikasi lewat media sosial. Semuanya berjalan setara. The Dare menempatkan diri sebagai musisi yang kebetulan karya-karyanya diapresiasi oleh orang-orang yang kemudian menamakan diri sebagai penggemar.
Saat berada di atas panggung, The Dare lebih dari sekadar musisi. Selain bermusik, mereka juga menyampaikan pesan lantang terkait isu-isu sosial yang sedang hangat. Yang paling anyar adalah soal tragedi Kanjuruhan. Band asal Lombok itu menggaungkan desakan untuk mengusut tuntas tragedi kemanusiaan yang merenggut 134 nyawa tersebut. The Dare juga identik dengan gerakan anti pelecehan seksual. Dalam setiap penampilan mereka, selalu diselipkan pesan-pesan untuk tidak membiarkan pelecehan terhadap perempuan. Khususnya saat konser. Misi The Dare itulah yang membuat empat musisi perempuan tersebut semakin dicintai masyarakat. Apalagi melalui medsos, The Dare juga aktif mengakomodasi penggemar atau follower yang mengadukan pelecehan seksual yang mereka alami.
”Tapi, itu bukan fans service. Itu aksi untuk bersama-sama melawan tindak pelecehan seksual,” tegas Desita yang berperan sebagai penggebuk drum dalam band tersebut.
The Dare yang beranggota Meigali, Desita, Riri (vokal dan gitar), serta Yollanang (gitar) suka membagikan bendera yang berisi slogan anti kekerasan seksual. Bagi Desita, itu bukan sekadar merchandise. Mereka berharap, bendera-bendera perlawanan tersebut bisa diusung oleh masyarakat dalam banyak konser yang lain. Bahkan, saat The Dare bukan pengisi acaranya. Jika ada interaksi yang bisa dianggap sebagai fans service, menurut Meigali, adalah kebiasaan bertukar meme atau shitpost di medsos dengan pendengar musik mereka. ”Hahaha, kami sering melakukan itu,” akunya. Kendati demikian, The Dare menyebut fans service sebagai hal yang positif. Asalkan, apa yang dilakukan juga selaras dengan norma kesopanan dan tidak membuat para penikmat musik maupun publik menjadi ilfil. ”Yaa… apa pun yang kami lakukan di panggung dan di luar panggung adalah interaksi antarteman,” pungkas Desita. (jp)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights