Belajar Sejarah Rawagede
RAWAGEDE, RAKA – Komplek pemakaman korban pembataian tentara Belanda di Rawagede banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai usia dan golongan. Mereka selain mempelajarai sejarah, ziarah, ada juga yang sekadar wisata.
Desti Agustin (17), warga Rawamanuk, Desa Purwamekar, Kecamatan Rawamerta, mengaku saat masih duduk di bangku SMP tidak jarang menggunakan waktu menjelang magrib di monumen tersebut, sebab banyak anak seusianya yang berkunjung ke tempat itu. “Sekarang gak ramai kayak dulu, padahal dulu mah jadi tempat kumpul-kumpul. Bahkan ada juga yang bawa pacar ke sini,” jelasnya kepada Radar Karawang.
Ia melanjutkan, Monumen Rawagede seringkali dijadikan tempat untuk titik temu bersama teman jauhnya, saat ingin bermain ke rumahnya. Di samping Monumen Rawagede sudah terkenal, juga tempat tinggal Desti tidak jauh dari tempat bersejarah tersebut. “Kalau ada teman mau main, pasti ketemunya di sini dulu,” katanya.
Kali ini, Desti ditemani kedua adiknya untuk berswafoto. Baginya, makam para korban pembataian oleh tentara Belanda itu, selain untuk mengenal sejarah lebih mendalam, juga merupakan salah satu tempat penghilang penat. “Dulu kalau ke sini suka diperkenalkan dengan sejarah, selain itu datang ke sini juga kalau bete juga,” katanya.
Kristi Aprillia (13) pengunjung Monumen Rawagede mengatakan, dia sering juga datang ke tempat bersejarah tersebut bersama teman-temannya.
“Ini bukan yang pertama, dulu pernah beberapa kali ke sini,” katanya.
Dika Amalia Putri, warga Rawamerta mengatakan, setelah ditugaskan sekolahnya mengunjungi taman makam pahlawan Rawagede, ada ketertarikan yang membuatnya nyaman di lingkungan monumen tersebut. Bahkan, saat ini ia lebih sering menghabiskan waktunya di tempat sejarah itu. “Nyaman aja untuk sekedar main dan ngadem,” katanya.
Meskipun sekedar bermain, lanjutnya, banyak pelajaran yang dapat ia petik. Salah satunya melihat kondisi patung di dalam ruang kaca. Seolah menggambarkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga korban berondongan peluru yang dilakukan serdadu Belanda. “Betapa susahnya masyarakat zaman dulu, apalagi melihat patung anak kecil yang lagi nangis, sedih sekali,” ucapnya.
Saat ini, kata dia, pelajar dapat mengambil hikmah dari gambaran patung-patung tersebut. Jika perjuangan zaman dahulu melawan penjajah secara langsung, setelah kemerdekaan bentuk perjuangan yang bisa dilakukan siswa khususnya, belajar dengan rajin agar terhindar dari jajahan kebodohan. “Perjuangan kita mah ringan, cuma berangkat sekolah dan belajar. Makanya harus dimanfaatkan,” katanya.
Agus, salah satu juru pelihara Monumen Perjuangan Rawagede mengatakan, saat ini sudah jarang masyarakat maupun para pelajar yang berkunjung ke Monumen Rawagede.
“Lagi-lagi kan ini monumen bersejarah, artinya tidak ada hiburan di dalamnya. Adapun keingintahuan soal sejarah itu kembali ke masing-masing individu,” pungkasnya. (mra)