Ikut Demo, 8 Pelajar Karawang Terjaring
KARAWANG, RAKA – Setiap perbatasan Karawang yang berpotensi dilalui pelajar yang berniat ikut aksi demonstrasi ke Jakarta, Senin (11/4) sudah dijaga ketat. Namun, nyatanya masih ada lolos.
Berdasarkan informasi yang berhasil diperoleh, dari 143 pelajar yang diamankan, 8 siswa diantaranya merupakan pelajar asal Karawang. Rinciannya, enam orang diamankan di Monas, dan dua lainnya di kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ketua Satgas Pelajar Karawang Sudarto membenarkan adanya kabar ditangkapnya beberapa pelajar dari Karawang. Namun ia belum mendapatkan informasi secara resmi mengenai kabar tersebut. Sampai kemarin, katanya belum ada sekolah yang menginformasikan perihal siswanya yang ditangkap. “Karena dalam informasi yang beredar tidak mencantumkan nama lengkap, dan biodata lainnya dan tidak ada penyebutan asal sekolah,” katanya kepada Radar Karawang, Selasa (12/4).
Sudarto juga mengatakan, belum ada laporan dari sekolah yang bersangkutan. Sehingga pihaknya belum melakukan penjemputan terhadap para pelajar asal Karawang yang diamankan di Jakarta. “Kami akan jemput apabila ada perintah penjemputan dari pihak aparat keamanan. Soalnya kita tidak tahu secara pasti dimana harus menjemput, hari ini (kemarin) kita akan koordinasi dengan Polres Karawang,” ungkapnya.
Saat disinggung mengenai penjagaan yang telah dilakukan satgas bersama aparat kepolisian, tetapi masih adanya siswa Karawang yang lolos berangkat ke Jakarta, Sudarto menuturkan, berdasarkan data yang diperoleh bahwa siswa yang kemarin lolos ke Jakarta berasal dari SMK, SMA dan SMP yang ada di wilayah Batujaya. Mereka tertangkap di stasiun daerah Jakarta dengan keberangkatan Stasiun Cikarang. Menurutnya, kemungkinan kenapa sampai ada pelajar yang lolos, karena untuk daerah Batujaya itu terdapat banyak sekali penyeberangan perahu eretan. Sehingga para pelajar itu kemungkinan berangkat menggunakan perahu.
Kemungkinan lainnya, kata dia, karena akses ke Jakarta melalui kereta itu dimulai subuh. Jadi kemungkinan mereka berangkat ke Jakarta sekitar pukul 03.00 atau pukul 04.00. “Di jam itu memang belum dijaga satgas pada jam-jam tersebut. Namun kembali lagi data tersebut belum menjadi A1 juga. Karena saya belum mendapat pernyataan resmi dari Polres Karawang, begitu pun kabar yang beredar juga sumbernya dari mana belum bisa dipastikan,” tuturnya.
Ditanyakan apakah keterlibatan pelajar dalam aksi diperbolehkan atau tidak, Sudarto menuturkan, pada dasarnya sesuai Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 pasal 9 disebutkan, bahwa setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapatnya di muka umum. Sehingga pada prinsipnya ia juga setuju dan memperbolehkan. Namun berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, ketika pertama kali anak SMK/SMA diajak untuk melakukan demo, ternyata mereka tidak tahu maksud dan tujuan unjuk rasa tersebut. “Jadi kami menilai bahwa kalau anak pelajar mengikuti unjuk rasa maka urgensinya tidak ada, mereka itu usia yang rentan untuk dimonopoli atau untuk diarahkan kepada kekerasan. Demonya atau unjuk rasanya pasti diperbolehkan, namun eksploitasi kekerasannya itu yang tidak diperbolehkan,” ujarnya.
Akademisi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Aris Riswandi menyebut, demonstrasi jika telaah dari UU No 9 Tahun 1998 merupakan salah satu hak warga negara sebagai perwujudan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Oleh karena itu, sejauh pelajar yang dimaksud telah memenuhi syarat sebagai warga negara Indonesia, berarti pelajar memiliki hak untuk melakukan demonstrasi. Meskipun pada UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak-anak dilarang dilibatkan dalam unjuk rasa, hasilnya perlu ada kategorisasi pelajar SMA/SMK yang berdemonstrasi sesuai umur. “Karena jika berkaca pada pada UU 40/2009 tentang Kepemudaan, umur 16-30 sudah masuk dalam kategori pemuda,” terangnya.
Berangkat dari aturan tersebut, kata dia, dapat dikategorisasikan bahwa pelajar SMK yang sudah berumur 16 tahun lebih tidak menyalahi aturan jika ikut demonstrasi. Namun jika belum genap berumur 16 tahun, nyatanya dilarang berdemonstrasi sesuai Undang Undang Perlindungan Anak. Meski demikian, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji terkait keterlibatan pelajar dalam demonstrasi. Bahkan Kemendikbud secara tegas melarang pelajar berdemonstrasi pada tanggal 11 April. Menurut Aris, dari sisi psikologi pendidikan, pola pikir dan tingkat kematangan berpikir antara pelajar dengan mahasiswa sangat berbeda. Pelajar akan kesulitan menentukan pilihan terbaik dalam kondisi terburuk. Begitu juga kultur mahasiswa jauh berbeda dengan kultur pelajar. Melalui pengkaderan dan berbagai kajian strategis, mahasiswa lebih siap untuk berdemonstrasi dibandingkan dengan pelajar. “Posisi mahasiswa sebagai penggerak demonstrasi memiliki bekal strategis berdemonstrasi, berbeda dengan para pelajar yang justru hanya terbawa arus,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, ada skala prioritas yang perlu dipertimbangkan oleh pelajar. Lebih baik mengikuti jam pelajaran daripada turun ke jalan. Karena dengan berdemonstrasi saat jam pelajaran justru malah dikategorikan pelanggaran. “Peran guru dan orangtua menjadi sangat penting dalam menyikapinya. Jadikan isu-isu nasional sebagai konsumsi pembelajaran untuk mempersiapkan siswa yang melek akan kondisi bangsa,” ucapnya.
Bukan hanya melalui demonstrasi, tetapi juga menyiapkan siswa untuk langkah lainnya dalam menyampaikan pendapat. Karenanya, sebaiknya saat ini pelajar tidak perlu menggunakan haknya untuk berdemonstrasi, dengan berbagai pertimbangan di atas, pelajar belum siap untuk bersuara melalui demonstrasi. “Ini tantangan juga bagi tenaga pendidik agar memberikan edukasi kepada para pelajar, agar peka terhadap kondisi bangsa namun tidak harus melalui aksi demonstrasi,” pungkasnya.
Sementara hingga berita ini diturunkan, Kapolres Karawang AKBP Aldi Subartono belum menjawab saat dikonfirmasi terkait kabar diamankannya delapan pelajar Karawang di Jakarta.(nce)