KDRT Berawal dari Stres
KARAWANG, RAKA – Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT kerap terjadi. Korbannya bukan hanya perempuan dan anak, termasuk juga suami. Parahnya, kekerasan tersebut bisa berujung pada kematian. Seperti yang tercatat di Radar Karawang, setidaknya ada lima percekcokan pasangan yang awalnya saling mencintai berujung petaka.
Perempuan bernama Oon (44) warga Desa Jatimulya, Kecamatan Pedes, misalnya. Dia tewas penuh luka bacokan senjata tajam di rumahnya. Korban dibantai secara sadis oleh mantan suaminya berinisial Y pada Rabu (5/2/2020) dini hari. Motifnya, pelaku merasa sakit hati dengan adanya telepon, SMS dari korban. Kemudian pembunuhan sadis dan mutilasi di Telukjambe Timur, yang dilakukan seorang laki-laki terhadap istrinya pada Desember 2017. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Karawang akhirnya memvonis pelaku M Kholili yang membunuh, memutilasi, lalu membakar potongan mayat istrinya Siti Saidah alias Nindy atau Nindya dengan hukuman 15 tahun enam bulan penjara. Peristiwa sadis itu bermula karena cekcok urusan rumah tangga.
Di bulan Oktober 2021, istri sah dari bos rumah makan padang berinisial NW (49) murka mengetahui aksi suami di belakangnya. Hingga kemudian, istri sah nekat merencanakan pembunuhan. Bukan dengan tangan sendiri, istri sah ini menyewa mahal dukun serta 7 eksekutor atau pembunuh bayaran untuk menghabisi Khairil Amin. Kemudian, Khairul Amin (54) pun dihabisi di dekat rumahnya, di Kelurahan Nagasari, Kecamatan Karawang Barat.
Psikolog Elizabeth T Santosa mengemukakan kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin meroket ditengarai dipicu oleh stres. Penyebab stres antara lain kondisi biologis. Misalnya, sakit atau kecelakaan. Kemudian, lingkungan, tinggal di lingkungan yang bising, berpolusi dan tidak sehat. Lalu, pola pikir, seperti apa yang diharapkan berbeda dengan realitas. Hal tersebut juga termasuk perilaku negatif seperti gaya hidup tidak sehat. Contohnya, merokok, mengonsumsi narkoba, meminum alkohol, dan kurang aktivitas fisik. “Kondisi dan dinamika kehidupan juga menyebabkan stres, seperti perceraian, kematian, pemecatan, konflik dengan kolega dan pasangan,” ujarnya.
Berkaitan dengan kasus kekerasaan rumah tangga, lebih banyak disebabkan oleh domestic affairs dan hubungan. “Karena pasangan itu yang paling mengerti diri kita. Pasangan tahu apa yang paling bisa memicu kita. Begitu ada sesuatu yang ‘menusuk’, bisa menyebabkan stres, marah, hingga pembunuhan,” katanya.
Menurutnya, stres sudah dirasakan manusia sejak awal kehidupan. Tanpa disadari ada beberapa kondisi stres yang menyebabkan shock dan trauma. Misalnya, tertimpa bencana alam, korban pelecehan, kecelakaan, dan lain sebagainya. Menurut dia, trauma menyebabkan reaksi yang intens, seperti ketakutan, kemarahan, kesedihan, ataupun rasa bersalah, bila tidak diintervensi akan berdampak panjang dan termanifestasi dengan munculnya gangguan fisik dan emosi.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan Cempaka Putrie Dimala mengatakan, faktor ekonomi-sosial memang kerap menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Status sosial ekonomi rendah dapat memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. “Sepertinya ini alasan klasik, hanya saja ini memang nyata adanya terjadi di masyarakat kita,” terangnya.
Himpitan ekonomi dan beban tekanan sosial memicu stres. Pada umumnya seseorang ketika mengalami stres cenderung akan melampiaskannya, atau biasa disebut katarsis emosi. Sebagian orang mampu menyalurkan emosinya dengan cara yang tepat sesuai dengan strategi coping stress yang tepat. Namun sayangnya, adapula yang tidak mampu menyalurkannya dengan tepat. Pasangan yang cerewet atau anak yang rewel dijadikan peluang oleh seseorang untuk melampiaskan stres, sehingga terjadi kekerasan domestik dalam rumah tangga. Bukan tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi pada sebuah keluarga dengan ekonomi-sosial tinggi. Banyak faktor yang menjadi pemicu, namun pada umumnya terkait kesalahan komunikasi antara pasangan suami istri.
Cempaka menyampaikan, masyarakat kita kerap mensteorotipkan peran gender. Misalnya, urusan pengasuhan dan urusan domestik adalah tanggung jawab istri, sedangkan urusan keuangan dan nafkah adalah tanggung jawab suami. Padahal peran gender tida bisa digeneralkan. Pada kenyataannya ada saja peran dan tanggung jawab yang berbeda antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Dengan demikian perlu ditentukan pola komunikasi yang sesuai dengan karakter rumah tangga itu sendiri.
Komunikasi dua arah pasangan suami istri memperkecil terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. “Tapi kalau komunikasinya satu arah, dimana semua beban dibebankan hanya pada salah satu peran, contoh semua urusan rumah tangga mulai dari mengasuh, membereskan rumah itu dibebankan kepada istri, sedangkan suami tidak ikut andil, tentu setiap istri itu bebannya berbeda,” jelasnya. (nce/psn)