Kabid Rehabilitasi Dinas Sosial Karawang, Dyah Palupi Eka Yanti
KARAWANG, RAKA – Karawang tidak hanya jadi gula bagi para pencari kerja, tapi juga bagi para penjaja seks. Mereka biasanya tidak menetap di satu lokasi dengan tarif bervariasi. Di Karawang Barat, jumlahnya lebih dari 100 orang yang tersebar di berbagai tempat.
Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Karawang Dyah Palupi Eka Yanti mengatakan, perempuan penjaja seks selalu berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain.
“Seperti sudah ada aturan tertulis bahwa dua atau tiga bulan itu mereka berpindah-pindah. Dari Karawang ke Indramayu, yang dari Indramayu ke Karawang,” kata Dyah kepada Radar Karawang.
Ia melanjutkan, pihaknya tidak melakukan pendataan jumlah PSK di satu lokasi. Namun jumlah perempuan yang menjual dirinya di Kecamatan Karawang Barat lebih dari 100 orang, termasuk di panti pijat, diskotik dan tempat-tempat lain.
“Kalau yang di Seer biasanya mereka tinggal di kontrakan di sekitar Jatirasa,” ucapnya.
Mengenai tarif, kata Dyah, setiap PSK memiliki pangsa pasar tersendiri. Di Seer misalnya, ada penjaja seks yang dibayar hanya Rp30 ribu bahkan kurang. “Kadang ada yang dibayar hanya dengan makan saja. Tarifnya tidak terlalu mahal,” ungkapnya.
Dikatakan dia, program rehabilitasi merupakan salah satu solusi terhadap para PSK. Namun program tersebut tidak menjamin para PSK berhenti melakukan tindakan tidak baik itu.
“Sebenarnya kalau mau dikemanakan (para PSK), Dinsos tidak bisa menjawab. Melakukan rehabilitasi atas kemauan mereka,” ujarnya.
Menurutnya, Dinas Sosial menargetkan 30 PSK untuk direhabilitasi pada tahun ini. Selain program kabupaten, pihaknya juga bekerjasama dengan Kementerian Sosial untuk melakukan rehabilitasi terhadap para PSK yang memang ingin berhenti.
“Tahun kemarin kita 30 orang. Dengan cara memberikan pelatihan keahlian membuat makanan dan juga memfasilitasi alatnya,” ucap dia.
Berdasarkan pengalamannya menjadi pekerja sosial, kata Dyah, melalui pendekatannya dengan para PSK, dalam waktu dua tahun secara intens memberikan pemahaman dan bimbingan kepada para PSK, hanya dua orang yang berhenti.
“Saya pernah selama dua tahun intens, hasilnya cuma dua orang yang berhenti jadi PSK,” tuturnya.
Selain itu, kata Dyah, kesulitannya dalam mendata PSK yang ada di seer atau tempat prostitusi lain, tidak adanya para PSK saat dilakukan razia.
“Misalnya target 70 orang kadang ada 10 orang,” pungkasnya.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan (UBP) Cempaka mengatakan, prostitusi memang salah satu permasalahan yang serius dan butuh perhatian khusus dalam menanganinya. Dunia prostitusi muncul karena adanya himpitan ekonomi, rendahnya pendidikan, dan kurang memiliki keahlian. Sehingga prostitusi dianggap menjadi solusi untuk dapat bertahan hidup. “Dengan membekali keahlian tertentu untuk bekal bekerja tentu itu bisa dijadikan salah satu solusi, agar mereka bisa beralih mencari pekerjaan lain,” ujarnya. (nce/din)