Museum Peranakan Tionghoa, Merajut Kebinekaan, Ada Empat Karung Arsip Laksamana John Lie

Azmi Abubakar bukan keturunan Tionghoa. Museum Peranakan Tionghoa dia dirikan sebagai upaya mematahkan stigma dan memperkenalkan wajah warga Tionghoa secara utuh.
Masih membekas di ingatan Azmi Abubakar kejadian pada awal 2015 itu. Eko, kenalannya yang sehari-hari berjualan sayur, dengan agak tergopoh-gopoh datang ke rumahnya untuk menyerahkan empat karung penuh. ”Dia tidak tahu isi karungnya itu apa. Yang jelas, dia tahunya saya koleksi buku-buku Tionghoa,” kata Azmi di kawasan BSD, Serpong, Tangerang Selatan.
Setelah karung itu dibuka, Azmi kaget bukan main. Dia mengibaratkan sedang mendapatkan ”harta karun.” Empat karung tersebut ternyata berisi dokumen-dokumen atau arsip pribadi milik Laksamana Muda TNI (pur) John Lie. Pria berdarah Tionghoa yang juga dikenal dengan nama Jahja Daniel Dharma itu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2009. Isi dokumennya beragam. Mulai surat-surat resmi kedinasan, kliping koran, hingga catatan di buku harian. Selain itu, ada foto-foto selama John Lie berdinas. Ada juga foto pribadi seperti saat pria kelahiran Manado, 21 Maret 1911, itu menikah dan lainnya. ”Laksamana Muda John Lie ini memang gemar mengarsip. Ada surat cintanya juga,” ungkap Azmi yang sehari-hari bergerak di bisnis konstruksi.
Dokumen tersebut ditemukan dari rumah John Lie di kawasan Cinere, Kota Depok. Saat itu rumah pria yang meninggal di Jakarta pada 27 Agustus 1988 tersebut dibeli orang lain. Si pemilik baru kemudian bersih-bersih yang salah satu buntutnya terkumpulnya empat karung tadi.
Azmi lantas memilah mana yang sampah dan dokumen penting. Setelah itu, dia masukkan dokumen penting ke koleksi di Museum Peranakan Tionghoa yang didirikannya pada Oktober 2011. Museum Peranakan Tionghoa menempati ruko dua lantai di Ruko Golden Road C28/25 di Jalan Pahlawan Seribu, BSD, Tangerang Selatan. Ruangannya sebenarnya cukup luas. Namun, karena total koleksi Azmi lebih dari 35 ribu item, lantai dasar sebagai tempat memajang koleksi terasa sempit. Di kedua sisi ditempatkan lemari dengan tinggi hampir menyentuh langit-langit. Salah satu lemari berisi ratusan komik Tionghoa. Di bagian tengah ada dua rak besar dengan koleksi beragam buku, dokumen, dan sejenisnya tentang kalangan Tionghoa di Indonesia.
Pria kelahiran Jakarta, 3 Maret 1972, itu menceritakan, salah satu kejadian yang menginspirasi pendirian museum tersebut adalah kerusuhan di ibu kota pada pertengahan Mei 1998. Sebagaimana yang diketahui, saat itu banyak warga etnis Tionghoa yang menjadi korban. ”Waktu itu saya tidak habis pikir. Kok bisa mereka jadi sasaran kambing hitam krismon (krisis moneter),” ujarnya.
Di tengah gegap gempita turunnya Presiden Soeharto, Azmi merenung. Menurut dia, saat itu banyak etnis Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya yang menjadi korban amukan massa karena warga mendapatkan informasi yang tidak benar. Mereka belum mengenali secara utuh etnis Tionghoa di Indonesia. Dari sanalah muncul ide untuk mendirikan pusat informasi etnis Tionghoa di Indonesia. Tujuannya adalah memperkenalkan etnis Tionghoa di Indonesia itu seperti apa sejak bangsa ini masih bernama Nusantara sehingga diharapkan stigma yang ada bisa dihapus. Sampai kemudian, terbentuklah Museum Peranakan Tionghoa.
Azmi mulai mengoleksi buku-buku atau dokumen Tionghoa dengan membuka toko buku bekas di daerah Kuningan, Jakarta. Selain itu, dia berkeliling Indonesia untuk mengunjungi pusat-pusat toko buku bekas. ”Hampir semua pusat toko buku bekas sudah saya kunjungi. Di Surabaya itu, ada Pasar Blauran,” jelas pria yang berprofesi insinyur tersebut. Azmi menyatakan, sama dengan etnis-etnis lainnya di Indonesia, etnis Tionghoa memiliki peran besar bagi Indonesia di segala bidang. Laksamana Muda John Lie, sang pahlawan nasional, hanya salah satu contoh.
Peran etnis Tionghoa dalam sejarah panjang Indonesia juga terekam di dunia pendidikan. Azmi, insinyur lulusan Institut Teknologi Indonesia (ITI), mengungkapkan, tujuh tahun sebelum berdirinya organisasi Budi Utomo, etnis Tionghoa di Indonesia mendirikan lembaga pendidikan Tionghoa Hwee Koan. Lembaga pendidikan untuk anak-anak etnis Tionghoa itu semula berdiri di Jakarta, tetapi kemudian menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Azmi masih memiliki papan nama kayu lembaga pendidikan Tionghoa Hwee Koan yang masih asli. Papan tersebut dia pajang di salah satu sudut museum dan terlihat sangat mencolok. ”Jaringan sekolah Tionghoa Hwee Koan ini menginspirasi lembaga lain membuat lembaga pendidikan serupa,” katanya. Misalnya, Al Irsyad, Budi Utomo, dan lainnya.
Etnis Tionghoa juga memiliki sejarah emas di dunia olahraga. Bukan hanya di badminton atau bulu tangkis, tetapi juga di cabang olahraga lain. Misalnya, di sepak bola. Tian Lion Houw, Thio Him Tjiang, Liem Soen Joe, Kwee Kiat Sek, dan Phwa Sian Liong adalah sederet bintang tim nasional pada era 60-an. Hampir semua klub sepak bola pada era itu juga dihuni pemain etnis Tionghoa. Namun, kenapa itu tidak bertahan sampai sekarang? Di BRI Liga 1 musim ini, misalnya, hanya tercatat Sutanto Tan (PSM Makassar) dan Arthur Irawan (Persik Kediri). Menurut Azmi, penyebabnya adalah etnis Tionghoa sering menerima diskriminasi saat bermain sepak bola. Sampai akhirnya, mereka lebih memilih olahraga individual seperti bulu tangkis. Dan, dari masa ke masa Indonesia selalu memiliki bintang badminton dari kalangan Tionghoa. Contoh lain di jagat kuliner. Banyak sekali di berbagai sisi kuliner Indonesia yang kental dengan pengaruh Tionghoa. Dia mencontohkan kecap yang merupakan bahan makanan asal Tiongkok. Meski, di Negeri Panda tidak ada kecap manis.
Dari segelintir kisah itu saja sudah bisa dipatahkan pandangan atau stigma bahwa etnis Tionghoa di Indonesia hanya identik dengan urusan dagang. Lewat museum tersebut, dia juga ingin memulai langkah untuk saling mengenal dan memahami antaretnis. Selain melalui museum, Azmi aktif menjadi pembicara di seminar-seminar. Dia juga rajin mengunggah sejarah etnis Tionghoa di Indonesia melalui laman Facebook pribadi. Bagi dia, bangsa Indonesia perlu mengenal etnis satu dan lainnya. ”Saya bukan orang Tionghoa, tapi ini cara saya merajut kebinekaan,” katanya. (jp)