
radarkarawang.id — Di tengah banyaknya pedagang minuman modern, masih ada sosok penjual tradisional yang setia menjajakan minuman alami khas pedesaan.
Dialah Nanto (52), penjual nira aren yang setiap hari memikul dagangannya berkeliling di wilayah Karawang.
Dua tahun sudah Nanto berjualan nira di Karawang. Pria asal perbatasan Brebes–Cilacap, Jawa Tengah ini datang merantau untuk mencari rezeki. Setiap hari ia memulai aktivitas sejak pukul delapan pagi, membawa dua wadah bambu berisi nira segar dari kampung halamannya.
“Saya jualan di sini sudah sekitar dua tahun. Asalnya saya bukan orang sini, saya dari Jawa. Nira ini saya bawa langsung dari kampung, bukan bikin di sini. Kalau persediaan habis, saya tinggal menghubungi keluarga di kampung supaya dikirim lagi lewat travel,” tuturnya.
Nanto menjelaskan, nira yang baru disadap dari pohon rasanya manis alami, namun jika dibiarkan semalaman akan berubah menjadi sedikit asam, mirip cuka apel. Ia juga masih mempertahankan cara jualan tradisional dengan wadah bambu dan pikulan, seperti yang biasa dilakukan pedagang nira zaman dulu.
“Saya pakai wadah bambu karena memang ciri khasnya orang dulu jualan nira. Jadi saya pertahankan supaya tetap tradisional,” ucapnya sambil tersenyum.
Sebelum berjualan nira, Nanto sebenarnya menjual bingkai foto dan kaligrafi. Namun, karena hasilnya tidak menentu, ia mencoba peruntungan baru dengan menjajakan nira aren.
“Namanya jualan, kadang habis, kadang tidak. Biasanya sehari bisa dapat dua ratus sampai tiga ratus ribu, tapi kalau lagi ramai bisa sampai enam ratus ribu,” ujarnya.
Dari hasil jualannya itu, Nanto membiayai anak semata wayangnya yang tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas di Purwakarta. Ia mengaku tak pernah mengeluh, karena baginya yang terpenting adalah bekerja halal dan bisa menghidupi keluarga.
“Selama masih kuat, saya akan terus berjualan seperti ini. Yang penting halal dan bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” katanya.
Meski usianya tak lagi muda, Nanto tetap bersemangat. Ia berencana suatu hari nanti beralih profesi menjadi tukang cukur jika sudah tak sanggup lagi memikul dagangan.
“Saya sudah punya alat cukur. Kalau nanti sudah tua dan tidak kuat lagi mikul, insya Allah mau buka usaha pangkas rambut,” harapnya.
Ia juga berharap ada pihak yang peduli untuk melestarikan cara jualan tradisional seperti yang ia lakukan.
“Sekarang sudah jarang yang jualan nira pakai pikulan seperti ini. Padahal ini bagian dari tradisi juga.
Kelebihannya, kalau dipikul begini, saya bisa mudah berpindah tempat,” ujarnya menutup percakapan. (uty)



