TPST Jangan Berubah Jadi TPA

PENGUKURAN: Lahan sawah di Desa Jayamakmur, Kecamatan Jayakarta, sedang diukur untuk dijadikan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) menggunakan dana bantuan dari Bank Dunia.
Sehari Butuh 50 Ton Sampah Organik
KARAWANG, RAKA – Rencana proyek Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di empat titik harus dikaji secara matang, terutama dalam pengelolaannya ke depan. Jangan sampai setelah TPST dibangun, berubah status menjadi Tempat Pembuangan Akhir sampah atau TPA. TPST yang dibangun menggunakan dana bantuan dari Bank Dunia tersebut, salah satunya ada di Desa Jayamakmur, Kecamatan Jayakarta.
Kabid Litbang Forkadas Willy Firdaus mengatakan, rencana pembangunan TPST di Jayamakmur dianggap baik untuk mengurangi sampah yang tidak terangkat ke TPA Jalupang. Hanya saja konsep pengelolaannya masih mentah.
“Saya sudah komunikasi dengan ketua konsultannya dari Kementerian PUPR lewat zoom meeting. Jadi memang yang didahulukan itu pembangunannya, sementara konsep pengelolaannya masih agak mentah,” jelas Willy.
Willy menjelaskan, nantinya hasil produksi pengolahan sampah ini menjadi RDF (Refuse Derived Fuel) atau energi terbarukan. Oleh karenanya Kementerian ESDM dengan Kementerian PUPR sudah terjalin komitmen bersama.
“Jadi hasil RDF yang berupa briket ini harus dibeli oleh ESDM, dan Kementerian ESDM menunjuk Indonesia Power untuk digunakan di PLTU nya sebagai pengganti batu bara,” kata Willy.
Ia melanjutkan, sampah dengan kapasitas 50 ton per hari yang akan dijadikan pemerosesan RDF ini merupakan sampah organik, oleh karenanya tidak menutup kemungkinan sampah yang masuk ke TPST Jayamakmur ini tidak hanya kiriman dari wilayah Jayakarta. Melainkan bisa juga sampah dari Pasar Rengasdengklok, Pedes maupun Batujaya. Sebagaimana kata Willy, rasanya tidak mungkin delapan desa di Kecamatan Jayakarta menyumbang hingga 50 ton sampah organik per hari, kecuali digabungkan dengan sampah non organik.
“Asumsi saya nantinya dengan adanya TPST di Jayamakmur ini untuk menggeser sampah sayuran yang ada di pasar,” katanya.
Imbuh Willy, berdasarkan data 2017 Pasar Rengasdengklok dapat menghasilkan 150 ton sampah per hari, dan yang terangkut ke TPA Jalupang hanya 60 persennya. Menurut dia dari 150 ton sampah itu 60 persennya sampah organik.
“Bisa kita cek saja, di pasar itu banyaknya sampah sayuran,” ujarnya.
Konsep TPST ini sebagai upaya untuk mengurangi penumpukan sampah dan menghasilkan energi pengganti batu bara. Sehingga masyarakat setempat tidak perlu khawatir dengan kiriman sampah dari luar kecamatan, karena teknologi RDF ini terjamin bagus. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah bagaimana pengelolaannya ke depan.
“Kalau misalkan pengelolaannya tidak bagus dan tidak berjalan, TPST itu akan jadi tumpukan sampah dan bakal berubah menjadi TPA. Itu yang kita khawatirkan,” katanya.
Kepala Desa Jayamakmur Ujang Junaedi turut mendukung rencana keberadaan TPST di wilayah kerjanya. Menurutnya saat ini persolan sampah dianggap belum terlalu buruk, namun kondisi berbeda puluhan tahun kedepan. Oleh karenanya TPST itu sebagai langkah untuk menanggulangi sampah ke depan.
“Saya sangat mendukung sekali dengan TPST ini, kami pun sepakat menutup (TPST) bilamana tidak ada manfaatnya,” katanya.
Ujang menyebut, sekarang ini sudah 60 sampai 70 persen masyarakat Jayamakmur mendukung rencana keberadaan TPST. Sisanya hanya mereka yang belum paham kegunaan TPST tersebut. Hal itu lantaran masih kurangnya sosialisasi.
“Sosialisasi ini belum menyeluruh karena memang waktu yang singkat terus jumlah penduduknya juga terlalu banyak,” ujarnya. (mra)