PURWAKARTA

Perajin Sapu Ijuk Kena Dampak Corona

KENA IMBAS CORONA: Sempat libur produksi selama lima bulan, perajin sapu ijuk di Kampung Sukaresmi, Desa Sindangpanon, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta, kini mulai bekerja lagi meski produksinya terbatas. Penjualan sapu ijuk terkena imbas corona karena ruang gerak masyarakat dibatasi, serta menurunnya daya beli.

PURWAKARTA, RAKA – Sejak lama, Kampung Sukaresmi, Desa Sindangpanon, Kecamatan Bojong, dikanal sebagai sentra kerajinan sapu ijuk di Kabupaten Purwakarta. Di perkampungan tersebut ada lebih dari 20 perajin yang biasa mengerjakan aktivitasnya, mulai dari menyisir ijuk dan merapikannya. Sebagian perajin lainnya merangkai ijuk menjadi sapu.

Agus Maulana (42) salah satu perajin yang setiap harinya memproduksi sapu ijuk. Dia dibantu sang istri dan dua pegawai. Setiap hari dirinya mampu memproduksi 40-60 sapu. Namun jumlahnya tergantung pesanan. “Saya menggeluti kerajinan tangan ini sejak 2000. Dalam satu hari, mampunya paling banyak membuat 60 buah sapu,” ujarnya, Rabu (4/8).

Hasil kerajinan buah tangan Agus sebagian besar dikirim ke pasar-pasar di Purwakarta maupun ke luar kota, misalnya ke Karawang, Subang dan Bandung. “Karena soal kualitas sapu ijuk saya ini bisa bersaing dengan sapu ijuk yang berasal dari daerah lain,” tutur pria yang akrab disapa Kang Ireng itu.

Untuk mendapatkan bahan dasar ijuk, ia membeli dari petani dengan harga Rp5 ribu per lembar. Teknis pengolahannya pun tidak sesulit yang dibayangkan. Ijuk yang telah diperoleh disortir, kemudian dipotong sesuai kebutuhan. Lalu masuk ke teknis penyisiran untuk merapihkan ijuk dengan menggunakan besi runcing.

Setelah itu, ijuk ditumpuk beberapa lembar kemudian digulungkan ke batang sapu yang terbuat dari bambu atau rotan. Lalu diikat. Kemudian di bagian atas ijuk dianyam untuk memperkuat kerapatan ijuk dengan batang sapu.
Ireng menjelaskan, sapu ijuk yang diproduksinya memiliki dua pilihan. Yakni sapu ijuk batang rotan seharga Rp15 ribu hingga Rp20 ribu dan sapu ijuk menggunakan batang bambu seharga Rp7 ribu hingga Rp10 ribu untuk harga eceran. “Perbedaan dari dua produk itu hanya dari teknis penganyaman. Untuk produski sapu ijuk ini tidak semua orang bisa, harus memiliki ketelatetan dan keahlian khusus,” jelasnya.

Ireng mengaku hampir lima bulan ini barang dagangannya sepi pembeli. Meski begitu, dia tetap berjuang agar usahanya tetap berjalan di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit sebagai imbas pandemi Corona.
Dari usahanya itu, dirinya harus menghidupi keluarga dan pekerjanya. Setiap hari, mereka bekerja di halaman rumahnya yang disulap menjadi tempat pembuatan sapu ijuk.

Sebelum adanya pandemi Covid-19, pemasaran sapu ijuk yang diproduksinya mudah. Namun selama corona dia kesulitan menjualnya. “Waktu ada covid itu kan terhambat juga, jalan ditutup. Ini juga baru mulai lagi produksi setelah 5 bulan berhenti akibat pandemi corona,” tuturnya.

Di tengah kondisi sulit yang dirasakannya, kini ada harapan untuk bisa mengembalikan roda usahanya. Ireng mengaku, saat ini mulai datang pesanan sapu dari sejumlah warga. Ia berharap bisnis yang dijalaninya bisa kembali pulih agar dapurnya bisa tetap ngebul. “Yah semoga sekarang bisa tumbuh lagi, kalau tidak ada yang membeli bisa-bisa merumahkan pekerja,” harapnya. (gan)

Related Articles

Back to top button