Perhatikan Perkembangan Sosial Emosi Anak
KARAWANG, RAKA- Usia golden age dalam tahap tumbuh kembang anak akan sangat menentukan masa depan anak kelak. Enam aspek perkembangan anak sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah aspek sosial emosi.
“Semakin bertambahnya usia anak, kemampuan emosionalnya pun bertambah,” terang Koordinator Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Ine Nirmala, Minggu (13/12).
Aspek sosial emosi adalah bagaimana seorang anak berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana anak tersebut mengekspresikan serta mengendalikan emosinya. Dalam aspek ini anak dilatih untuk mampu mengsikronisasikan apa yang ia rasakan dengan apa yang ia ekspresikan. “Lagi sedih bagaimana ekspresinya, lagi takut seperti apa, jadi harus matching,” tuturnya.
Ine menyampaikan, sosial emosi anak dapat dilatih dengan berbagai permainan sebagaimana kerap didapati di lembaga PAUD. Pengalaman anak ke lingkungan baru di sekolah ketimbang hanya berinteraksi dengan orang-orang terdekat juga secara tidak langsung mengasah sosial emosi.
Anak dituntut untuk beradaptsi dan menemukan kenyamanan baru dengen berinteraksi dengan orang-orang yang baru dikenalnya.
Anak usia di bawah lima tahun memiliki emosi yang belum stabil, misalnya anak tiba-tiba ikut menangis saat melihat temannya menangis. Sebab itu perlu dilatih misalnya dengan permainan ekspresi agar anak berani mengekspresikan perasaannya sendiri. “Ketidakstabilan emosi juga salah satunya tantrum, anak gampang mengamuk, itu belum bisa menguasai emosinya,” jelasnya.
Jika kemampuan sosial tidak terasah dampaknya anak cenderung akan takut untuk bertemu dengan lingkungan baru bahkan merasa tidak aman. Apalagi jika orang tua menakut-nakuti misalkan perkataan orang tua yang meminta anak untuk tidak berteman dengan anak yang bersikap kasar. Hal ini malah akan menurunkan rasa percaya dirinya. Adapun kecerdasan emosi jika tidak diasah dampaknya anak tidak menempatkan ekspresi sesuai perasaannya. Selain itu anak cenderung merasa malu untuk berekspresi dan cenderung menutupi. “Misalnya anak jatuh, sebenarnya karena mau nangis tapi karena ada ucapan orang tua bahwa anak laki-laki tidak boleh nangis, si anak menutupi meskipun sebenanrya sakit,” tuturnya.
Ia berpesan pada para orang tua untuk memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan apa yang dirasakan, baik itu perasaan negatif maupun positif. Latihlah anak dengan memberikan contoh bagaimana mengekspresikan perasaan yang tepat. Beri kesempatan anak bermain dengan siapa saja sesuai dengan usia dan lingkungannya. “Kadang orang tua suka terlalu mencampuri urusan anak, sebenarnya kita tidak boleh mengitimidasi, marahnya anak-anak kan beda dengan marahnya orang dewasa,” pesannya. (din)