
radarkarawng.id – Di tengah ramainya persaingan kuliner, Bakso Sembilan Bulan di Rengasdengklok, Karawang, justru mencuri perhatian lewat nama yang tak biasa.
Di balik penamaan unik itu, tersimpan kisah perjuangan panjang dari sepasang suami istri, Pudin dan Marni, yang memulai usaha dari berjualan keliling hingga kini memiliki kedai bakso permanen.
Nama “Sembilan Bulan” kerap memantik rasa penasaran pembeli. Teteh Marni pun menceritakan asal mula julukan tersebut, yang lahir dari pengalaman saat mereka masih mendorong gerobak dari kampung ke kampung.
“Dulu waktu masih keliling, kebanyakan yang beli itu ibu-ibu hamil. Dari situ nama ‘sembilan bulan’ mulai dipakai,” ujar Marni sambil tersenyum saat ditemui di kedainya.
Awalnya, mereka hanya menjual bakso biasa. Namun permintaan pelanggan akan bakso besar yang “sesuai dengan nama kedai” terus menguat. Suaminya kemudian berinisiatif menciptakan menu andalan tersebut.
“Banyak yang tanya, ‘Bakso sembilan bulannya mana?’ Ya akhirnya bapak buat. Jadilah bakso jumbo, sesuai namanya,” ujarnya.
Kini, bakso jumbo itu menjadi menu favorit, berdampingan dengan varian bakso lain yang tetap ramah di kantong.
Harga merakyat, rasa tetap kuat
meski banyak kedai bakso mematok harga tinggi, Bakso Sembilan Bulan masih mempertahankan harga yang sangat terjangkau.
“Harga kita Rp10 ribu sampai Rp15 ribu. Kami sesuaikan biar tetap bisa dinikmati semua kalangan,” kata Marni.
Strategi itu terbukti efektif. Di tengah meningkatnya harga bahan baku, kedai ini tetap menjadi pilihan favorit warga Rengasdengklok dan sekitarnya.
Peran Suami–Istri yang Saling Menguatkan
Dalam operasional usaha, Pudin dan Marni membagi peran secara jelas.
Pudin mengurus manajemen keuangan dan penyediaan bahan baku, sedangkan Marni berfokus pada produksi dan pelayanan pelanggan.
“Soal belanja bahan dan keuangan itu suami yang handle. Saya fokus di produksi dan jualan,” jelasnya.
Dari kedai sederhananya, usaha ini mampu meraup omzet hingga Rp9 juta per minggu. Meski begitu, Marni mengakui bahwa dinamika usaha tak selalu mulus, terutama saat penjualan menurun.
“Tantangan paling berat itu ketika target harian tidak tercapai. Tapi kami tetap semangat, tetap syukur. Kalau ramai bersyukur, kalau sepi ya tetap bersyukur, jalani saja,” ucapnya dengan nada penuh keteguhan.
Baginya, mental tahan banting dan rasa syukur adalah kunci bertahan di dunia UMKM.
Meski kini sudah memiliki ruko sewa dan beberapa karyawan, Teteh Marni dan suami sesekali masih turun berjualan keliling, terutama di sekitar Bojong, tempat perjuangan awal mereka dimulai.
“Kami sengaja kadang masih keliling biar ingat dulu mulai dari mana. Biar tetap membumi,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa dukungan keluarga menjadi sumber kekuatan terbesar.
“Keluarga selalu support, itu yang bikin kami bertahan sampai sekarang,” ucapnya haru.
Kisah Bakso Sembilan Bulan bukan hanya soal nama unik, tetapi juga cerita tentang kegigihan, kreativitas, dan ketulusan dalam merintis usaha. Dari pembeli ibu hamil, lahir sebuah brand yang kini melekat di hati pelanggan.
Bagi Marni dan Pudin, setiap mangkuk yang tersaji bukan sekadar bakso, tetapi juga cerita perjuangan, doa, dan semangat bertahan. (uty)



