PURWAKARTA, RAKA – Gerabah atau kerajinan keramik Plered Purwakarta masuk daftar warisan budaya tak benda (WBTB) yang ditetapkan Dinas Pariwisara dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Pembuatan kerajinan tersebut diketahui telah dilakukan secara turun-temurun selama enam generasi. Sehingga, keaslian dan ciri khasnya masih tetap terjaga hingga saat ini.
“Keuntungannya, otomatias daerah ini akan ditetapkan oleh nasional sebagai penghasil gerabah. Itu mengharumkan nama baik pemerintah daerah dan masyarakat Plered,” kata Plt. Kepala Dinas Koperasi UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta, Eka Sugriyana pada Jum’at (17/1).
Eka mengungkapkan, dengan predikat WBTB diharapkan dapat mengangkat kembali industri keramik di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta.
“Selain bernilai budaya, pembuatan keramik juga masih memiliki potensi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan para pengrajinnya,” ungkapnya.
Meski demikian, Eka menyampaikan bahwa industri keramik lokal menghadapi ancaman kepunahan akibat jumlah pengrajin yang terus berkurang. Fenomena itu disebabkan banyaknya pengrajin yang beralih profesi serta minimnya regenerasi.
“Ada yang sudah punya cicit tapi dia tidak ada regenerasi ke anaknya sehingga tidak ada yang meneruskan. Mereka lebih memilih ke industri menjadi karyawan pabrik dan perusahaan,” tuturnya.
Baca Juga : Waspada Diabetes Pangkal Segala Penyakit
Jumlah pengrajin keramik Plered yang tersisa hingga saat ini disebut tidak lebih dari 600 orang. Selain alasan penghasilan yang lebih sedikit, banyak di antara generasi muda yang enggan membuat keramik secara manual karena dianggap pekerjaan kotor.
Sementara itu, Ketua Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengembangan Sentra Keramik Plered, Mumun Maemunah mengatakan pembuatan keramik di wilayah Plered tercatat sejak 1904 yang dibawa oleh Pangeran Panjunan atau Syekh Abdurrahman dari Cirebon.
Pada awalnya, para pengrajin hanya membuat perabotan rumah tangga, batu bata hingga celengan tradisional. Industri keramik terus berkembang pada generasi kedua dan ketiga setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
“Pemerintah pusat saat itu turun tangan memberikan bantuan peralatan untuk meningkatkan kualitas produknya dari sekadar produk fungsional menjadi hiasan,” kata Mumun.
Pada generasi keempat, lanjut Mumun, ada salah seorang tokoh pengrajin bernama Suratani yang berinovasi membuat terakota khas Plered pada 1982. Sejak saat itu, produk keramik lokal bisa dikenal lebih luas di dalam dan luar negeri.
“Produk keramik khas Plered akhirnya diekspor untuk pertama kalinya ke Belanda pada 1985 dan terus berlanjut sampai sekarang,” ujarnya.
Selain itu, produk keramik asal Plered sudah diekspor ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, India dan Italia. Namun, jumlahnya terus mengalami penurunan sejak 2019, dari 105 kontainer per tahun, sekarang hanya tinggal enam hingga 15 kontainer per tahun.
“Produksi keramik lokal juga terus mengalami penurunan mencapai hampir 60 persen. Selain karena kekurangan pengrajin, produksi keramik juga terkendala bahan baku yang menurun secara kualitas sehingga harus dicampur dengan tanah dari daerah lain,” ungkapnya. (yat)