PURWAKARTA

Lintas Sektor Harus Kompak Tangkal HIV AIDS

PURWAKARTA,RAKA – Penyakit AIDS yang diakibatkan virus HIV adalah gangguan kesehatan yang menjadi momok bagi siapa pun. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta, lebih dari 50 % pengidap HIV-AIDS di Kabupaten Purwakarta usia produktif yaitu 16-30 tahun.

“Ini cukup mengejutkan, dimana rentang usia mereka yang terindikasi adalah pemuda. Persoalan penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS perlu penanganan serius dan komprehensif, lintas sektor dan sinergis antar instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Kata kuncinya komitmen dan koordinasi,” kata Kabid Kepemudaan, Disporaparbud Kabupaten Purwakarta, Ahmad Arif Immamulhaq, Selasa (2/7).

Menurutnya, HIV-AIDS Ini bukan hanya karena risiko kesehatan yang harus dihadapi, tapi juga stigma negatif masyarakat yang diarahkan kepada pengidap HIV/AIDS sangat keliru.

Penderita HIV/AIDS kerap diasosiasikan sebagai seseorang yang memiliki lingkup pergaulan seksual bebas dan tidak sehat, misalnya tunasusila dan mereka yang menggunakan jasanya. “Padahal tidak selalu penderita HIV/AIDS merupakan seseorang yang memiliki citra negatif, karena anak-anak yang masih polos pun bisa menjadi korban virus ini,” jelas Arif sapaan karibnya.

Ia menambahkan, bila dilihat dari trend penyebarannya yang meningkat setiap tahunnya, maka pengendalian dan pencegahan HIV-AIDS harus lebih cermat, fokus dan terencana. “HIV sangat sulit dideteksi dan hanya bisa diketahui melalui tes darah sehingga sering digambarkan sebagai fenomena gunung es. Hal ini sudah tentu sangat mengkawatirkan dan menuntut perhatian serta kepedulian secara serius dari semua pihak,” katanya.

Nampaknya, lanjut Arif, ada pergeseran perilaku di kalangan generasi muda yang diakibatkan oleh berkembangnya sosial media yang tidak diimbangi dengan penguatan pendidikan mental spiritual, termasuk adanya pergeseran orientasi kehidupan yang lebih mengedepankan nilai-nilai materialistik dibandingkan nilai-nilai yang bersifat idealistik. “Hari ini, kita menyaksikan masyarakat lebih menghargai hasil dibandingkan prosesnya. Padahal proses jauh lebih bernilai dibandingkan hasil yang dicapai,” ujarnya.

Anak-anak dan generasi muda, tambahnya, tidak lagi diajari bagaimana memahami dan menghayati proses sesuatu. Misalkan, bagaimana yang namanya nasi yang terhidang dan siap santap itu memakan proses yang panjang dan melibatkan banyak orang, dari mulai petani yang menanam benih, memanen, penjual beras, ibu yang memasak nasi hingga siap dihidangkan. “Ini pendidikan nilai yang semestinya tertanam dalam diri setiap generasi agar mereka memiliki karakter mental spiritual yang kuat dan senantiasa bersyukur disertai sabar dalam menjalani proses kehidupan,” ungkapnya. (ris)

Related Articles

Back to top button