Polemik KJA Jatiluhur Belum Tuntas
PURWAKARTA,RAKA – Polemik keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Ir Djuanda atau yang sering disebut Waduk Jatiluhur, seakan tak ada habisnya. Apalagi, jika menelisik lebih jauh soal dampak negatif dari kegiatan budidaya ikan tersebut.
Namun demikian, akan ada dampak lain yang akan muncul jika KJA ini dihilangkan. Yakni, hilangnya mata pencaharian masyarakat yang selama ini bergantung pada usaha budidaya tersebut. Artinya, persoalan penertiban KJA ini bak makan buah simalakama. Dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu.
PJT II Jatiluhur, sebagai pengelola waduk buatan terbesar itu tetap keukeuh dengan pendiriannya, yakni ingin menertibkan KJA yang ada di perairan tersebut. Mengingat, selama ini keberadaan budidaya ikan dianggap sebagai biang kerok menurunnya kualitas air di danau tersebut.
Pihak pengelola pun beranggapan, jika KJA dibiarkan tetap berada di Jatiluhur, maka sampai kapan pun di waduk tersebut akan timbul permasalahan yang tak akan terselesaikan.
Memang, jika melihat dampak dari pencemaran ini jelas masyarakat yang ada di wilayah hilir lah yang lebih dirugikan. Karena, selama ini sekitar 80 persen air dari Waduk Jatiluhur itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan air baku dan pesawahan ke wilayah hilir. Di antaranya, Karawang dan Jakarta.
Beberapa waktu lalu, Dirut PJT II Jatiluhur, Joko Saputro juga menyadari bakal ada potensi besar jika KJA ini di zerokan. Karena, dipastikan banyak yang tidak terima dan merasa terganggu. Tapi, kata dia saat itu, ada satu hal yang harus diingat, pengosongan KJA merupakan kepentingan nasional dan sudah menjadi keputusan pemerintah pusat. “Ini sudah jadi keputusan pusat. Karena dari sisi lingkungan pun tidak sehat,” ujar Djoko kepada sejumlah awak media, belum lama ini.
Namun demikian, kata dia, baik ada penolakan ataupun tidak, budidaya ikan dengan cara ini akan dihilangkan. Sebab, karena budidaya KJA ini, lingkungan Waduk Jatiluhur tercemar.
Pencemaran ini, disebabkan pengendapan dan sedimentasi dari pakan ikan. Limbah pakan itu mengandung sejumlah unsur kimia, yang sifatnya korosif. Sehingga, berpotensi merusak konstruksi bendungan Waduk Jatiluhur. “Saat ini tingkat keasaman air di waduk Jatiluhu sudah sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut, jelas menjadi ancaman, karena bisa menyebabkan korosi pada kontruksi bendungan,” ujarnya.
Dengan begitu, tambahnya, PJT II Jatiluhur sudah harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk meminimalisasi risiko yang bisa mengancam keberadaan bendungan tersebut. “Memang, perlu ada langkah strategis yang harus segera dilakukan. Salah satunya, dengan mengosongkan KJA yang masih ada di perairan Jatiluhur,” katanya.
Sementara di sisi lain, para pembudidaya justru menolak jika selama ini keberadaan KJA dituding jadi penyebab menurunnya kualitas air di Jatiluhur. Menurut mereka, penertiban ini merupakan bentuk penzoliman terhadap para pembudidaya. “Kalau PJT II dan pemerintah keukeuh mau menertibkan kami, ya kami juga akan melakukan hal sama. Kami akan tetap bertahan,” ujar Ketua Paguyuban Pembudidaya Ikan KJA Jatiluhur, Yana Setiawan.
Menurut dia, rencana penertiban ini menimbulkan keresahan di kalangan pembududaya. Karena, jika KJA ditertibkan masyarakat di sekitar tak akan bisa lagi menjalankan usaha perikanan di Jatiluhur. “Kalau ditertibkan, secara otomatis akan banyak pembudidaya yang kehilangan mata pencaharian. Dengan begitu, akan banyak pengangguran baru,” jelasnya. (gan)