Purwakarta

Tiga Hari Matikan Listrik dapat Hadiah Rp30 Juta

PURWAKARTA, RAKA – Eks Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menantang setiap Kampung di Purwakarta untuk mematikan dan tidak menggunakan aliran listrik selama tiga hari tiga malam. Sayembara Ramadan tersebut berhadiah uang Rp30 juta. “Sayembara ini, untuk mengembalikan kekhusuan dan kekhidmatan bulan puasa, seperti zaman dulu sebelum ada listrik,” ujar Dedi, di Purwakarta kepada sejumlah awak media, Selasa (14/5).

Karena itu, lanjut Dedi, bagi ketua kampung yang berani menerima tantangan ini, maka bisa mendaftarkannya langsung ke dirinya. Ada hadiah menanti sebesar Rp30 juta. Hadiah tersebut, bisa digunakan untuk membeli sapi, ataupun membiayai kegiatan lainnya. “Ingat yah, satu kampung tanpa aliran listrik, selama tiga hari tiga malam,” tuturnya.

Dedi merasa prihatin, banyak tradisi dan budaya yang ada di setiap bulan puasa, yang kini telah ditinggalkan masyarakat. Padahal, tradisi itu menjadi pemicu untuk melakukan kegiatan yang positif dan produktif. Salah satunya, tradisi bebeledugan atau menabuh beduk keliling kampung. “Saat anak-anak dan remaja, melakukan kegiatan bebeledugan atau main petasan karbit di lapang terbuka, mereka melakukan aktivitas fisik untuk berinteraksi dengan temannya,” bebernya.

Canda dan tawa mewarnai kehidupan mereka. Biasanya, kegiatan bebeledugan ini dilakukan selepas shalat ashar sampai menjelang waktu berbuka puasa. “Banyak makna dari kegiatan tersebut. Salah satunya, menjaga ikatan persahabatan,” ujarnya.

Selain itu, tambahnya, bebeledugan juga dilakukan dengan tujuan untuk membangunkan warga. Jangan sampai, karena berpuasa warga ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Padahal, banyak kegiatan produktif lainnya yang bisa dilakukan sambil menahan lapar dan haus.

Selain itu, lanjut Dedi, ada juga tradisi menabuh bedug keliling kampung. Biasanya, kegiatan ini dilakukan menjelang waktu sahur. Tujuannya, untuk membangunkan warga, supaya tidak kesiangan dalam menyajikan makanan untuk sahur. “Akan tetapi, tradisi tersebut kini mulai hilang. Terutama, sejak adanya handphone. Kini, kampung-kampung sepi dari aktivitas anak-anak yang biasa dilakukan hanya di bulan Ramadan,” ujar Dedi.

Tak hanya itu, aktivitas tadarus Alquran juga, saat ini mulai sepi. Padahal, sebelum marak handphone, baik musala ataupun masjid selalu ramai dengan bacaan-bacaan ayat Alquran selepas shalat tarawih. “Para pemuda, jarang pulang ke rumah sebelum tadarus Quran beres. Mereka, banyak menghabiskan waktunya di musala ataupun masjid. Tapi, saat ini selepas tarawih, masjid dan musala kembali sepi. Para pemudanya, lebih senang menatap layar handphonenya ketimbang membaca Alquran di masjid,” ujarnya.

Dedi ingin, tradisi Ramadan di tanah sunda tidak hilang karena perkembangan teknologi. Menjaga tradisi itu sangat penting. (gan)

Related Articles

Back to top button