UPI Purwakarta Buka Prodi Telekomunikasi
PURWAKARTA, RAKA – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Purwakarta menjadi satu-satunya kampus daerah yang memiliki program studi (prodi) teknik murni atau non-keguruan, yaitu Prodi Sistem Telekomunikasi.
Tahun ini, prodi tersebut menerima mahasiswa angkatan pertama dengan kuota sebanyak 40 mahasiswa atau setara dua kelas. “Prodi Sistel ini untuk menghasilkan lulusan yang unggul di bidang telekomunikasi guna memenuhi kebutuhan tenaga ahli di wilayah Purwakarta, Subang, Karawang, dan Bekasi,” ujar Direktur UPI Kampus Purwakarta Prof H Turmudi M.Ed M.Sc Ph.D kepada Radar Karawang, saat ditemui di sela Workshop Internet of Thing (IoT) yang digelar di UPI Kampus Purwakarta, Rabu (14/8).
Ia menjelaskan, Workshop IoT merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi sekaligus mengenalkan Prodi Sistel. “Para peserta Workshop IoT berasal dari berbagai SMA/SMK/MA. Di mana para peserta dikenalkan dengan sistem absensi berbasis Radio Frequency Identification (RFID). Workshop ini sebagai salah satu usaha untuk menjawab tantangan Era Revolusi Industri 4.0,” katanya.
Ditemui di lokasi yang sama, Ketua Panitia Workshop IoT Endah Setyowati ST MT menyebutkan, pihaknya mengundang 15 sekolah di Purwakarta, di mana tiap-tiap sekolah mengirimkan dua wakilnya yang merupakan siswa dan guru. Seluruh peserta tidak dipungut biaya apa pun. “Selama mengikuti workshop, para peserta dikenalkan dengan aplikasi Smart Card menggunakan mesin absensi berbasis RFID. Mesin absensi kami pilih karena sangat aplikatif dan bisa diterapkan di sekolahnya masing-masing,” katanya.
Selama workshop, tiap-tiap peserta, sambungnya, diminta untuk membuat mesin absensi berbasis RFID. “Kami sediakan seluruh komponennya. Jadi tinggal dirakit dan disolder. Selain itu kami sediakan pula softwarenya. Di mana bersifat open source sehingga bebas dimodifikasi sesuai kebutuhan peserta,” ucapnya.
Salah satu dosen di Prodi Sistel ini berharap usai mengikuti workshop para peserta mampu membuat mesin absensi di sekolahnya masing-masing. “Terlebih dari 15 sekolah yang diundang, baru dua sekolah saja yang telah menggunakan mesin absensi. Jenisnya finger print yang harganya cukup mahal. Itu pun untuk absensi staf dan guru,” kata Galura.
Sementara itu, Ichwan Nul Ichsan ST MT, dosen lainnya mengatakan, biaya pembuatan masin absensi berbasis RFID sangat terjangkau. “Penggunaan Smart Card pun dapat dikembangkan luas, tak hanya digunakan untuk absensi,” ujarnya.
Lebih lanjut Ichsan menuturkan, seluruh peserta yang merupakan siswa dan guru ini bisa menularkan ilmu yang didapatnya saat workshop ke sesama siswa dan guru lainnya. “Kami juga akan melakukan pendampingan dengan mengunjungi sekolah para peserta bilamana dibutuhkan pada saat membuat mesin RFID tersebut,” ujarnya. (gan)