
KARAWANG, RAKA – Warga miskin ekstrem yang sebelumnya ada di 25 desa di lima kecamatan, kini terdapat di setiap kecamatan.
Subkoordinator Sub Subtansi Perlindungan dan Jaminan Sosial Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Dinas Sosial Karawang Arieyanti menyebutkan, kenyataan itu ditetapkan setelah hasil pertemuan bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diambil dari desil 1 (rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan 10 persen terendah di Indonesia) untuk diverifikasi dan validasi, yang selanjutnya ditetapkan sebagai penerima bantuan sosial penanganan miskin esktrem. ”Diambil dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteran Sosial) Oktober 2020 desil 1,” katanya saat ditemui Radar Karawang di kantornya.
Arieyanti menyebut, saat ini jumlah masyarakat yang terdata pada DTKS sebanyak 1,1 juta jiwa. Namun menurutnya DTKS tidak bisa dijadikan sebagai indikator kemiskinan. Karena itu, jumlah keluarga miskin di Karawang dilihat berdasarkan data bayar, atau data penerima bantuan yaitu Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang setiap bulannya berubah. ”Data penerima bantuan setiap bulan berubah. Karena saat ini terus ada verifikasi,” ujarnya.
Menurutnya, data dari DTKS ini tidak bisa dijadikan sebagai indikator kemiskinan, karena tidak semua yang terdaftar termasuk penerima bantuan sosial. Terlebih, jika mengacu pada 14 kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh kementerian, jumlah keluarga miskin di Karawang paling hanya beberapa persen. ”Misalnya yang hanya membeli satu baju dalam setahun. Atau yang rumahnya bilik, atapnya, paling juga berapa persen,” ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah desa dan kelurahan harus lebih selektif dalam mengusulkan warga sebagai penerima bantuan. Setidaknya yang lebih mendekati kriteria sesuai dari ketentuan kementerian. Kemudian juga harus memverifikasi dan validasi agar bantuan juga tepat sasaran. ”Kalau (data) di kita sesuai ajuan dan berita acara dari hasil musyawarah desa dan kelurahan. Makanya verifikasi itu di desa,” ucapnya.
Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinsos Karawang Asep Achmad membenarkan jika saat ini 30 kecamatan di Karawang masuk dalam wilayah miskin ekstrem. Namun ia belum mengetahui secara detil berapa jumlah kemiskinan ekstrem ini di masing-masing wilayahnya. ”Kalau data penerima BPNT keseluruhan 174 ribu dan PKH 78 ribu,” ujarnya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Karawang menunjukan, tahun 2019 lalu angka kemiskinan tercatat 173,66 ribu jiwa atau 7,39 persen, tahun 2020 menjadi 195,41 ribu jiwa atau 8,26 persen, kemudian tahun 2021 bertambah lagi menjadi 210,78 ribu jiwa. ”Penambahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2020 lalu, dari 7,39 persen naik menjadi 8,26 persen,” ujar Rudi Rukhimat, Fungsional Statistisi Ahli Muda pada Fungsi Statistik Sosial BPS Karawang.
Rudi menuturkan, pihaknya tidak bisa menyebutkan apa yang menjadi penyebab angka kemiskinan di Karawang setiap tahunnya bertambah. Namun menurutnya, penambahan angka kemiskinan itu karena dampak dari pandemi Covid-19. Karena berdasarkan grafik, kenaikan tertinggi angka kemiskinan terjadi pada tahun 2020 ketika awal terjadinya pandemi Covid-19. ”Kalau tahun 2021 kenaikannya landai. Yang tinggi itu pas tahun 2020,” ujarnya.
Data angka kemiskinan yang dipublis oleh BPS, kata dia, berdasarkan survei kegiatan sosial ekonomi nasional yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dengan menggunakan metode sampel secara sistematik random sampling, pihaknya menentukan 113 blok sensus sampel dengan jumlah sebanyak 1.130 rumah tangga sampel yang tersebar di seluruh kecamatan dengan didatangi langsung oleh petugas BPS. ”Kita ada teknik tertentu dalam menentukan sampel agar dapat mewakili gambaran secara umum. Tidak hanya yang miskin atau yang kaya,” ujarnya.
Sampel yang dipilih tersebut, ditanya mengenai pendidikan, sosial, ekonomi, serta pola konsumsi. Sehingga dari hasil itu diperoleh nilai pengeluaran dari masing-masing rumah tangga sampel dan akhirnya muncul garis kemiskinan. ”Salah satu contohnya kita tanyai dalam seminggu itu makan apa saja, itu untuk mengetahui berapa kalori yang dikonsumsi,” tuturnya.
Rudi menjelaskan, garis kemiskinan itu mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan. Baik kebutuhan makanan maupun non makanan.
Menurutnya, garis kemiskinan di setiap daerah berbeda-beda. Pada tahun 2021 kemarin, garis kemiskinan di Karawang sebesar Rp494.201 per kapita per bulan. ”Jadi seseorang yang nilai pengeluarannya di bawah itu masuk kategori miskin,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, data yang dipublis itu merupakan angka kemiskinan secara makro. Bukan merupakan angka miskin ekstrem. Karena kategori miskin ekstrem berbeda dengan kemiskinan secara makro. Garis kemiskinan ekstrem itu rata- rata pengeluarannya 1,9 US PPP atau setara dengan kisaran Rp11 ribu per kapita dalam sehari. ”Jadi kalau untuk angka miskin ekstrem kami belum bisa menyebutkan,” tambahnya.
Akademisi dari Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Aris Riswandi mengatakan, adanya peningkatan kemiskinan di Karawang tidak bisa dilepaskan dari dampak pandemi covid-19. Karena pandemi ini belum berakhir, namun justru gelombang covid kembali terjadi terlebih di wilayah ibu kota. ”Karawang sebagai wilayah yang berdekatan dengan ibu kota sangat merasakan dampaknya, sehingga menjadi kewajaran jika kemiskinan mengalami peningkatan,” katanya saat dihubungi Radar Karawang.
Aris mengatakan, seluruh pelaku usaha terdampak mengakibatkan perputaran uang menjadi tersendat dan tidak terdistribusikan kebanyak kalangan. Begitu juga tingkat pengangguran bertambah karena banyaknya pemutusan kerja.
Karawang sebagai wilayah industri, ekonomi masyarakat juga sangat bergantung pada sektor penyokong industri seperti diantaranya perparkiran, perdagangan dan hunian. ”Dampaknya jika banyak pemutusan kerja, perputaran uang di wilayah industri mengalami penurunan yang drastis,” katanya.
Karena itu, kata dia, tidak heran jika BPS mengeluarkan data yang menunjukkan kemiskinan di Karawang mengalami peningkatan. ”Cukup logis jika dikaitkan dengan dampak pandemi,” ucapnya.
Tetapi, lanjut Aris, kondisi tersebut perlu menjadi sorotan, setidaknya meliputi bantuan tunai yang menjadi program pemerintah kabupaten nyatanya tidak mampu menjadi solusi. Seandainya bantuan tunai memang perlu, sebaiknya lebih menyasar pada aspek permodalan. ”Jika bantuan tunai ini hanya bersifat bantuan cuma-cuma dalam jangka yang panjang, jangan heran jika dampaknya hanya akan menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan cenderung bergantung pada kebaikan pemerintah,” tuturnya.
Selain itu, tingkat kepedulian sosial masyarakat mengalami penurunan. Andai kata kemiskinan di Karawang jelas nyata, justru terbalik dengan kondisi kalangan menengah ke atas yang banyak berkeliaran di tempat rekreasi dan pusat perbelanjaan. Transaksi digital justru meningkat. Hal itu dapat dilihat dari distribusi barang yang dilakukan jasa pengiriman barang. Menurutnya, yang perlu dikritisi apakah konsep zakat dan sedekah sudah tidak berjalan? Karena program pengentasan kemiskinan dalam Islam nampak pada zakat dan sedekah. ”Jika kemiskinan terus mengalami peningkatan, dalam konteks ini terjadi karena tingkat kepedulian sosial dan pengamalan ajaran agama sedang mengalami kemunduran,” ungkapnya.
Aris juga mengatakan, kemiskinan di Karawang menjadi tanggung jawab semua kalangan, bukan hanya pemerintah saja termasuk seluruh elemen masyarakat. Pemerintah dituntut memiliki program yang tepat untuk pengentasan kemiskinan. Bahkan jika perlu adanya perubahan RPJMD yang mengarah pada pembentukan kemandirian masyarakat. ”Kesalehan sosial menjadi kewajiban agar masyarakat saling membantu sesama. Perlu adanya peningkatan kesadaran bersedekah dan zakat karena kalangan yang termasuk masyarakat miskin ekstrem dapat dikategorikan mustahiq zakat,” tuturnya.
Dia juga menambahkan, organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan mampu menjadi pelopor pembentukan kemandirian masyarakat. Melalui pembinaan dan pendampingan masyarakat untuk membangun kemandirian dan ketahanan ekonomi. ”Karena kemiskinan ekstrem hanya dapat dihilangkan melalui kolaborasi seluruh elemen masyarakat dan pemerintah melalui pendidikan dan program pemberdayaan masyarakat,” pungkasnya.
Sementara, saat dimintai tanggapan mengenai penambahan miskin ekstrem, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Asep Syaripudin mengatakan, pihaknya akan mengundang Dinas Sosial untuk mengklarifikasi validasi data yang dimiliki, dan akan disesuaikan dengan apa yang dimaksud miskin ekstrem. ”Ada beberapa indikator yang dikategorikan masyarakat miskin ekstrem,” ujarnya.
Terkait penambahan angka kemiskinan, menurutnya sangat mungkin bertambah karena kondisi pandemi yang melanda Indonesia bahkan dunia. ”Makanya ini menjadi tanggungjawab dan perhatian bersama, tidak hanya Pemerintah Daerah Karawang tapi ini juga menjadi perhatian Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Asep Ibe itu mengatakan, saat ini bukan hanya soal regulasi untuk menangani kemiskinan, tetapi soal langkah kongkret yang perlu secepatnya dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersinergi dengan Pemerintah Pusat, dalam rangka menyelesaikan permasalahan kemiskinan ekstrem. Ibe juga mengatakan, Pemerintah Kabupaten Karawang sudah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat. Komisi IV DPRD Karawang juga mendorong kepada pemerintah daerah untuk melahirkan program yang efektif dan tepat sasaran, sehingga manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dan berpengaruh dalam rangka menyelesaikan permasalahan kemiskinan ekstrem di Kabupaten Karawang. (nce)