
Radakarawang.id-Karir salah seorang honorer rusak. Selangkah lagi jadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), honorer Cilamaya Wetan malah terancam penjara.
Hal ini terjadi, setelah honorer berinisial NK (15) ini terlibat pengeroyokan terhadap remaja penyandang disabilitas Rido Pulanggar (15) baru-baru ini.
Kasus penganiayaan yang menewaskan Rido Pulanggar (15), mengungkap fakta, salah satu pelakunya NK (42) ternyata merupakan staf honorer di pemerintahan Kecamatan Cilamaya Wetan.
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Karawang, Jajang Jaenudin, memastikan satu tersangka merupakan honorer Kecamatan Cilamaya Wetan.
“Iya benar, honorer Kecamatan Cilamaya Wetan,” ujar Jajang dalam keterangannya kepada media, Selasa (18/11) malam.
Tersangka berinisial NK (42) merupakan warga Desa Mekarmaya, menjadi perhatian khusus karena statusnya sebagai aparatur penyelenggara pemerintahan di kantor kecamatan.
Baca Juga: Warga Keluhkan Jalan Rusak, PJT II Malah Minta Dibuatkan Akses Jalan Baru
Tiga tersangka lainnya HW (37) warga Tegalwaru, EF (29) warga Tegalsari, serta TF (31) warga Ciantara, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.
Jajang menambahkan bahwa NK sebelumnya sedang dalam proses pengusulan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu di kecamatan.
Namun, setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka, BKPSDM langsung mengambil langkah tegas. “Usulan PPPK Paruh Waktu kami tarik, dan sudah kami kirimkan ke BKN,” tegasnya.
Langkah ini, sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah menjaga integritas dan moralitas aparatur, sekaligus menegaskan tidak ada toleransi bagi pelanggar hukum.
Sementara dari pihak keluarga korban, mendesak agar para pelaku mendapat hukuman maksimal. Aris Nurjaman, Kuasa Hukum Kelurahan Sindang Kasih Purwakarta, menilai bahwa kondisi korban yang masih di bawah umur dan merupakan penyandang disabilitas harus menjadi pertimbangan utama dalam penegakan hukum.
“Pihak keluarga berharap para pelaku mendapatkan hukuman maksimal dan seadil-adilnya,” ujar Aris, sambal berharap proses hukum berjalan cepat dan adil.
Menurut Aris, keterlibatan seorang aparatur pemerintah dalam kasus ini semakin memperberat pertanggungjawaban hukum dan moral pelaku yang seharusnya teladan masyarakat.
Secara regulatif, kasus ini mengacu pada Pasal 80 ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
Kuasa hukum menekankan bahwa kekerasan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak dan penyandang disabilitas merupakan kejahatan serius yang harus dihukum seberat-beratnya.
“Kasus memilukan ini menjadi peringatan kuat bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat di toleransi. Setiap anak, tanpa terkecuali, memiliki hak atas perlindungan, keamanan, dan kehidupan yang layak,” tegasnya.
Masyarakat pun imbau untuk tidak ragu melaporkan setiap bentuk kekerasan, diskriminasi, atau tindakan yang mencurigakan, terutama yang melibatkan kelompok rentan.
Peran aktif masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, aman, serta mencegah tragedi serupa kembali terjadi.(uty)



