HEADLINEKARAWANG

Simulasi Pemilu Presiden, Prabowo-Sandi Lebih Disukai

KARAWANG, RAKA – Pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno lebih banyak dipilih dibanding pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin pada simulasi pemilu presiden yang dilakukan Radar Karawang di wilayah Karawang dan Purwakarta, Kamis (31/1) lalu.

Di Karawang, pemungutan suara dilakukan di wilayah Karawang Kota, Pasar Johar, Terminal Cikampek, Klari, Cilamaya, Pasar Wadas, Pasar Rengasdengklok, Rawamerta, serta tiga sekolah menengah atas. Sedangkan di Purwakarta pemungutan suara dilakukan di wilayah Purwakarta Kota, Jalan Baru Maracang, Pasar Plered, Sukatani serta dua sekolah menengah atas.

Simulasi ini dilakukan dengan memilih lokasi secara acak. Lokasi yang didatangi bukan basis pendukung ataupun simpatisan salah satu calon, tapi tempat umum yang bisa didatangi oleh siapapun. Kemudian, di sejumlah sekolah negeri dan swasta juga dilakukan pemungutan sura untuk mengukur tingkat partisipasi pemilih pemula. Dari 1.000 surat suara yang disebar, pasangan nomor urut satu Jokowi-Ma’ruf meraih 314 suara, sementara pasangan nomor urut dua Prabowo-Sandi meraih 538 suara. Sebanyak 127 orang tidak mau memilih dan 21 surat suara tidak sah. Proses simulasi ini jumlah pemilih laki-laki lebih dominan, 461 orang. Sedangkan pemilih perempuan 412 orang.

Pimpinan Redaksi Radar Karawang A Taufiq Hidayat mengatakan simulasi merupakan bagian edukasi politik bagi masyarakat. Karena, dengan simulasi masyarakat akan mengetahui tatacara memilih, hingga bentuk kertas suara pada pemilu mendatang. “Saat tim kami turun ke lapangan, masih banyak masyarakat yang belum tahu tata cara mencoblos, mereka kami beri tahu dulu cara mencoblos yang benar,” katanya, Minggu (10/2).

Taufiq menambahkan, simulasi juga diharapkannya dapat menstimulasi partisipasi masyarakat. “Temuan tim kami di lapangan, saat dilakukan simulasi, masih ada masyarakat yang enggan memilih,” tuturnya.

Yang tak kalah pentingnya lanjut dia, simulasi merupakan salah satu cara untuk mengukur elektabilitas capres dan cawapres. “Memang bukan penentu hasil akhir pilpres nanti, ini hanya simulasi. Tapi hasilnya bisa menggambarkan kekuatan masing-masing calon,” imbuhnya.

Sementara itu, dosen Ilmu Pemerintahan Unsika, Gili Argenti SIP MSi menuturkan, angka-angka yang dihasilkan simulasi ini belum bisa mewakili pilihan pemilih nanti saat pemungutan suara tiba. Karena, dalam politik prediksi angka terkadang bukan segala-galanya. Terlebih sampel data tidak begitu besar. “Kenapa saya katakan angka itu bukan segala-galanya, karena pemilih itu adalah manusia, bersifat dinamis, terkadang pilihan dalam bilik suara bisa berubah dalam hitungan detik, terlebih suara dari swing voter masih sangat besar dari pemilu ke pemilu. Swing voter artinya orang-orang yang belum memiliki pilihan bahkan pemilih non ideologis, mereka pada posisi masih menunggu untuk diyakinkan untuk memilih satu paslon dari dua paslon dalam pilpres nanti,” ucapnya.

Artinya, lanjut Gili, pasangan calon nomor urut satu dan nomor urut dua, mungkin nanti dibantu tim kampanyenya harus bisa memanfaatkan waktu yang tinggal dalam hitungan bulan ini, untuk betul-betul mengerahkan energinya untuk menyakinkan para pemilih. “Catatan untuk pasangan Jokowi-Amin, harus bisa menyakinkan pemilih Islam, karena Jabar merupakan salah satu basis kekuatan Islam politik sejak masa Orde Lama. Jokowi mengandeng Maruf Amin salah satunya alasannya itu, untuk menunjukan karakter pemimpin kombinasi antara Islam dan Nasionalis,” ujarnya.

Sedangkan untuk Prabowo-Sandi, meski pada pemilu 2014 suara Prabowo besar di Jabar, bukan jaminan kesuksesan akan berulang di tahun ini. Artinya, pasangan ini harus meningkatkan ritme kampanye. “Karena pilihan politik bisa berubah, belum tentu lima tahun sebelumnya akan memilih yang sama di tahun ini. Intinya kedua pasangan ini berpeluang besar memenangkan kontestasi di Jabar pada April nanti. Kedua Paslon akan memaksimalkan kekuatannya untuk bisa meraih hati pemilih Jabar. Intinya kedua tim pemenangan harus langsung terjun ke masyarakat, mensosialisasikan program-program politiknya, jelaskan dengan cara lugas dan dipahami masyarakat,” terangnya.

Dosen Ilmu Pemerintahan Unsika lainnya, Dewi Noor Azijah SIP MA menilai, kontestasi politik berlangsung hambar tanpa adanya adu gagasan yang berarti. Padahal besar harapannya ada diskursus yang secara khusus mengupas mengenai kebijakan publik, dan mainstream kebijakan saat ini dan format kebijakan apa yamg bisa dibuat di periode yang mendatang. “Tapi ternyata masih berkutat pada statement masing-masing kubu yang sarat logical fallacies (Ad hominem) yang membuat pemilu 2019 menjadi makin tidak menarik minat saya. Miris, ketika generasi neo Alpha (gen Z) sudah mulai bisa berpartisipasi dalam politik praktis, namun gagasan-gagasan yang di sekelilingnya bukanlah gagasan politik yang edukatif melainkan gagasan-gagasan politik ala sangkuni yang penuh intrik. Ini bisa menjadi hal yang buruk di kedepannya jika praktik politik niretika seperti ini terus berlangsung. Bisa fatal terhadap kondisi budaya politik di Indonesia,” pungkasnya. (acu/asy)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button