
KARAWANG, RAKA – Nama Ahmad Subardjo Djojoadisuryo tercatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa. Sebagai Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia, perumus naskah proklamasi, sekaligus tokoh sentral dalam Peristiwa Rengasdengklok.
Kiprah Ahmad Subardjo tak hanya mewarnai detik-detik kemerdekaan, tetapi juga membentuk arah diplomasi Indonesia di panggung dunia.
Baca Juga : Penadah Motor Hasil Curian Akhirnya Ditangkap
Ketua Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Karawang, Obar Subarja, menuturkan bahwa Ahmad Subardjo lahir pada 23 Maret 1896 di Telukjambe, Karawang, tepat di tepi Sungai Citarum.
Beliau berasal dari garis keturunan pejuang Aceh, H. Muhammad Usman, yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya pada tahun 1840 akibat tekanan kolonial Belanda dan konflik internal.
Perjalanan penuh tantangan ini membawanya terdampar di Indramayu, di mana keluarganya kemudian menetap dan membangun kehidupan baru.
Melalui jalur keturunan yang panjang, lahirlah Ahmad Subardjo nama yang diberikan setelah sang nenek mengganti nama aslinya, Abdul Manaf, dengan makna “Cemerlang” atau “Gemerlap” demi masa depan yang diharapkan gemilang.
Ayahnya, Teuku Jusuf, adalah seorang pejabat Pamong Praja yang memastikan anak-anaknya menempuh pendidikan terbaik, termasuk menyekolahkan Subardjo ke sekolah-sekolah Belanda di Batavia. Sementara, Ibunya bernama Wardinah.
Subardjo memulai Pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) Jakarta, dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), lalu ke HBS (Hoogere Burgerschool) yang merupakan jalur pendidikan pada masa Hindia Belanda.
tonton Juga : SOEHARTO, THE SMILING GENERAL
Demi melanjutkan studi ke Belanda, ia menempuh kursus bahasa Latin dan Yunani sembari bekerja di redaksi majalah “Wederopbouw” dan kantor Pos, Telepon, dan Telegraf.
Pada 1919, ia berangkat ke Negeri Kincir Angin dan meraih gelar Sarjana Muda Hukum dari Universitas Leiden pada 1922.
Di sana, ia aktif dalam pergerakan mahasiswa, dengan menjadi ketua Indische Vereniging (1919–1921) dan editor majalah Indonesia Merdeka setelah organisasi itu berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada 1933, ia meraih gelar Meester in de Rechten atau gelar akademik dalam bidang hukum di Belanda, lalu kembali ke tanah air setahun kemudian.
Sekembalinya ke Indonesia, Subardjo berprofesi sebagai pengacara, wartawan, dan penulis, hingga akhirnya bergabung dengan Radio Ketimuran (NIROM) dan bekerja bersama tokoh-tokoh nasional.
Pada masa pendudukan Jepang, ia bertugas di Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang, sekaligus menjadi anggota BPUPKI yang menyusun UUD 1945, Piagam Jakarta, dan lagu kebangsaan.
Puncak kontribusinya terjadi menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Saat Soekarno dan Hatta diculik para pemuda ke Rengasdengklok, Subardjo menjadi penengah krusial.
Ia menjemput kedua pemimpin itu dengan jaminan keselamatan, bahkan siap mempertaruhkan nyawanya jika proklamasi gagal dilaksanakan.
Jaminan ini meyakinkan para pemuda untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta, yang kemudian menyusun teks proklamasi di kediaman Laksamana Maeda.
Dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada 19 Agustus 1945, Subardjo juga kembali menjabat posisi yang sama pada 1951.
Ia memimpin Delegasi Indonesia di Konferensi Perdamaian Jepang di San Francisco (1951), menjadi Direktur Akademi Dinas Luar Negeri, Duta Besar Keliling, hingga Duta Besar Indonesia untuk Swiss (1957–1961).
Ia juga pernah menjabat anggota Dewan Pertimbangan Agung dan memimpin Lembaga Urusan Internasional.
Sepanjang kariernya, ia menerima berbagai penghargaan, di antaranya Order of Merit dari Mesir (1954), Bintang Mahaputra Adipradana (1973), dan Bintang Republik Indonesia Utama (1992).
Sehingga pada tahun 2009, pemerintah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Ahmad Subardjo wafat pada 15 Desember 1978 di Jakarta pada usia 82 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di tanah miliknya di Cipayung Datar, Megamendung, Bogor, dengan upacara militer dipimpin Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean.
Obar Subarja menegaskan, sebagai putra asli Karawang yang berperan vital dalam lahirnya Republik Indonesia, Ahmad Subardjo layak diabadikan sebagai nama jalan utama, gedung pemerintahan, atau monumen di Karawang.
“Ini bukan hanya penghormatan bagi beliau, tetapi juga pengingat bagi generasi mendatang bahwa Karawang pernah melahirkan seorang tokoh bangsa yang menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah kemerdekaan,” ujarnya.(uty)