Sulit Air, Susah Sinyal
MEMBAWA CUCIAN: Nunung Nurjannah (36) dan kedua anaknya berhati-hati melewati jalan setapak setelah mencuci di Sungai Cicangor, Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, kemarin. Aktivitas itu dia lakukan karena sulitnya air di wilayah tersebut.
Desa Terpojok di Kabupaten Karawang
TEGALWARU, RAKA – Pagi itu, Nunung Nurjannah (36) membawa sebaskom tumpukan baju dan menuntun dua anak perempuannya yang masih kecil. Perlahan dia menuruni jalan setapak, memilih pijakan yang tidak licin. Sesampainya di bawah, ternyata beberapa orang sudah berada di situ sedang mencuci baju dan memandikan anaknya di Sungai Cicangor. Itu pula yang akan dilakukan olehnya.
Nunung adalah salah satu warga Kampung Neglasari, Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, yang sampai saat ini kesulitan mendapatkan air. Meski beberapa hari ini hujan datang, jamban di rumahnya yang mengandalkan air gunung belum teraliri. Adapun penampungan air bersama yang disalurkan ke setiap rumah juga belum teraliri. “Airnya belum ngalir, ya kadang beli galon isi ulang buat minum, biasanya masak,” ungkapnya sambil menyikat bajunya.
Di dekat rumahnya sebetulnya ada sumur bersama, namun dia merasa lebih nyaman mencuci di sungai ketimbang mesti memanggul air dari sumur ke rumahnya. Kegiatan di sungai seperti ini sudah berlangsung lama, sejak kemarau beberapa bulan yang lalu. Setiap pagi dan sore, dia berjalan kaki menempuh jarak sejauh satu kilometer menuju Sungai Cicangor. “Ya capek, tapi sudah biasa,” ujarnya.
Kepala Desa Kutamaneuh Adang Esan menjelaskan, masalah utama kekeringan di desanya adalah keringnya mata air. Pemerintah Kabupaten Karawang sempat mensurvei mata air untuk program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat, namun mata air yang ditemukan terlalu kecil debit airnya. Saat diusahakan untuk membesarkan sumber mata air, warga pemilik tanah menolak karena khawatir sawah akan kering. Pemerintah desa pun tidak bisa memaksakan. “Kalau pamsimas masuk, masyarakat pun kayaknya gak mau bayar untuk perawatan,” paparnya.
Hal tersebut disanggah oleh Abun (50) warga Neglasari, yang pagi itu juga mencuci di Sungai Cicangor. Penilaiannya, kendala utama adalah sumber mata air yang berebut dengan pengairan sawah. Pandangannya, masyarakat pasti mau membayar perawatan penyediaan air minum, asal ada yang benar-benar mengelola. “Kalau demi masyarakat, sawah mesti distop dulu lah,” ujarnya.
Dadi (49) warga Kampung Lengo mengaku malu jika setiap tahun meminta bantuan, mengantre hanya untuk dua atau tiga jerigen air yang belum tentu memenuhi kebutuhan. Menurutnya lebih baik jika warga Desa Kutamaneuh menanam pohon bersama di gunung sebagai resapan air. Meski manfaatnya tak bisa langsung dirasakan, setidaknya itu untuk bekal beberapa tahun mendatang. “Sudah saya usulkan ke pak lurah (kades Kutamaneuh). Alhamdulillah responnya bagus, minggu depan katanya mau dibicarakan dalam rapat,” terangnya.
Di sisi lain, warga Desa Kutamaneuh juga masih belum bisa menikmati jaringan internet yang stabil. Meski sudah tepasang satu tower pemancar sinyal (BTS) di dekat kantor kepala desa, namun belum mampu menjangkau semua wilayah.
Kusnaedi Heryana, sekretaris Desa Kutamaneuh mengungkapkan repotnya aparatur desa mengurus administrasi online. Aparatur desa kerap menumpang ke kantor desa tetangga, untuk mendapatkan akses jaringan internet. “Kalau misalkan mau mengerjakan siskeudes yang berhubungan dengan internet, ya kita ke luar misalnya ke Desa Cintalanggeng,” tuturnya.
Yana sapaan akrabnya menceritakan, kantor Desa Kutamaneuh telah memasang wifi pada tahun 2018. Namun jaringan terputus setelah satu bulan pertama, meski sudah membayar untuk berlangganan selama tiga bulan. Pihak penyedia jaringan malah meminta pembayaran lagi untuk biaya tiga bulan, namun tetap saja sampai sekarang belum bisa digunakan. Nampaknya wifi tersebut bukan disedikan oleh provider yang sama dengan provider yang membangun tower BTS. Dia juga terkadang mengkoneksikan jaringan internet dari telepon seluler, meski cukup ribet. Dan itupun jika sinyal tidak naik turun.
Susahnya jaringan internet juga dikeluhkan Rojai (60), salah satu guru SDN 3 Kutamaneuh yang letaknya di Kampung Cibayat. Ia mengatakan, Kampung Cibayat adalah daerah yang paling susah mendapatkan sinyal internet. Dampaknya para guru terhambat saat melakukan absensi pindai jari, yang terkoneksi dengan server Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Karawang. “Kalau gak bisa ya ditunggu dulu sampai ada (sinyal),” ungkapnya.
Selain itu, untuk mengisi data administrasi sekolah yang berbasis online seperti administrasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) tidak bisa dilakukan di sekolah. Operator sekolah mesti keluar dulu untuk mencari lokasi untuk menangkap sinyal internet.
Seorang warga Kampung Cibayat, Siti Aminah (30) membenarkan warga di lingkungannya sangat sulit mendapatkan sinyal internet. Ia menilai, hal itu disebabkan letak tower yang jauh dari kampungnya. Siti yang menyambi berjualan pulsa mengatakan, proses transaksi tidak bisa langsung selesai, namun harus menunggu beberapa menit. Ia juga kerap kesulitan mengakses aplikasi pesan singkat untuk berkominukasi. “Kalau di kota kan ada yang suka jualan online, kalau di sini mah gak bisa,” keluhnya. (cr5)