Uncategorized

Tanah Timbul Dilarang Dikuasai

CILAMAYA KULON, RAKA – Wilayah pesisir utara dan timur Karawang seperti Betokmati, Tanjungbaru, Pasirputih, Tangkolak dan Muara sedang demam mangrove. Banyaknya tanah timbul setelah terjadi akresi, membuat gejala alam melahirkan sempadan pantai.

Para kepala desa dan camat wilayah pesisir dilarang membuat sembarang surat keterangan desa untuk perorangan, kelompok dan lainnya untuk menguasai lahan di sepanjang tepian pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Kades Sukajaya Abdul Ghofur mengatakan, upaya pencegahan abrasi di laut Pasirputih sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan dengan tanam mangrove hingga sabuk pantai dan ban manual, membuat pasir-pasir laut subur dan menjadi daratan baru atau yang akrab disebut tanah timbul.

Dulu, sebutnya, oknum masyarakat sering berburu tanah timbul. Hal itu terbukti dengan ratusan hektare lahan yang ‘dilegalkan’ lewat surat keterangan desa. Bahkan saat masih dalam air pasangnya saja, sudah diberi SKD dari awal. Karena mereka tahu dalam jangka satu hingga lima tahun, pesisir di lokasi-lokasi tertentu itu akan menjadi tanah timbul. “Dulu tanah timbul itu diburu dan sering dibuatkan SKD karena memang gak teratur,” katanya kepada Radar Karawang, kemarin.

Tapi sekarang, sebut Gofur, kades dan camat yang wilayahnya terdapat sempadan pantai tidak bisa sembarangan membuat SKD. Sebab, tanggal 17 Januari 2018, Bupati Karawang melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Nomor 549/177/Kelautan, sudah memperingatkan sempadan pantai yang merupakan daratan di sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk, dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter, dilindungi berdasarkan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 27 tahun 2007, diatur pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena sempadan pantai itu dijadikan kawasan konservasi dan mitigasi bencana, yang dilarang dimiliki atau dikelola selain untuk fungsi itu, baik oleh perorangan, maupun perusahaan. “Aturannya sudah jelas, kawasan sempadan pantai yang diatur dalam Perpres Nomor 51 tahun 2016, adalah untuk konservasi dan mitigasi bencana, dilarang dimiliki siapapun,” katanya.

Lebih jauh Gofur menambahkan, selain haram membuat SKD, kades dan camat diminta untuk mencabut SKD-SKD sebelumnya, khusus di wilayah yang memang masuk kawasan sempadan pantai. Bahkan oknum yang merasa memiliki, menguasai atau mengklaim milik perusahaan di area yang dilindungi undang-undang tersebut, bisa dijatuhi sanksi pidana maksimal 10 tahun. “Ya kalau ada yang masih melanggar, ada sanksinya juga,” ujarnya.

Penyuluh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Dedi Jaitnika mengatakan, dalam UU Nomor 41 tahun 1991, hutan memiliki fungsi Konservasi, hutan lindung dan hutan produksi, dan ada lagi fungsi konservasi. Spesifiknya ada kawasan suaka alam dan pelestarian. Hutan, termasuk mangrove di wilayah pesisir memiliki azas manfaat buat lingkungan, selain azas kelestariannya, dimana masyarakat merencanakan lahan untuk kepentingan masyarakat di masa yang akan datang. “Pesisir Karawang cukup tinggi abrasinya. Masyarakat harus bisa menjaga alam sekitarnya,” ungkapnya.

Sempadan pantai selain untuk mitigasi bencana, tapi juga dipertahankan untuk perluasan kawasan konservasi. Sehingga tidak bisa sembarang orang bisa menguasai atau memilikinya. “Kita melihat azas manfaat dan kelestariannya, apalagi untuk kawasan konservasi,” katanya. (rud)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button