Pakar: Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Harus dari BPK
JAKARTA, RAKA – Kinerja Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit dikritik. Salah satunya soal penghitungan kerugian keuangan negara.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menegaskan, yang memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara hanyalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara dalam kasus ini, hasil hitungan kerugian keuangan negaranya bukan berasal dari BPK. “Seharusnya tidak sah, karena yang punya otoritas menyatakan negara merugi atau tidak hanya BPK,” katanya, Minggu (23/7).
Dalam sidang putusan kasus korupsi persetujuan CPO di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini terjadi silang pendapat antara hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan jaksa penuntut umum (JPU).
Hakim saat membacakan vonis terhadap General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Palulian Tumanggor tak setuju dengan nilai kerugian keuangan negara Rp6 triliun seperti yang dituangkan dalam dakwaan JPU. Hakim meyakini kerugian keuangan negara dalam perkara itu hanya Rp2 triliun.
Fickar menyebut, penegak hukum tak bisa sembarangan dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara. Sebab, unsur kerugian keuangan negara dalam sebuah perkara akan dituangkan ke dalam surat dakwaan. “Karena itu setiap dakwaan korupsi menjadi penting perhitungan kerugian negaranya,” tegasnya.
Dia menjelaskan, unsur kerugian keuangan negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian kasus yang menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Namun jika unsur kerugian keuangan negara hanya berdasarkan asumsi, maka hakim bisa menyatakan hal tersebut tidak sah.
“Karena unsur yang sangat mempengaruhi terbukti atau tidaknya korupsi adalah kerugian negara. Yang jadi persoalan adalah apakah kerugiannya itu kerugian bisnis atau dicuri secara melawan hukum. Negara juga bisa bisnis, jadi hubungan dengan pihak swasta itu bisa hubungannya bisnis, jadi kalau kerugiannya karena bisnis itu bukan kerugian negara karena korupsi,” jelasnya.
Sementara itu, tim kuasa tersangka korporasi kasus CPO, Marcella Santoso menegaskan tuduhan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada bukti kerugian negara hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kasus ini, Marcella menyebut kerugian negara didasarkan pada perhitungan ahli, bukan BPK.
“Frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potensial loss,” ujarnya.
Marcella menambahkan, hingga saat ini belum ada hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK baik dalam perkara terdahulu, yang sudah berkekuatan hukum tetap maupun perkara yang kini tengah diusut Kejagung.
“Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016, hanya BPK yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Bahkan BPKP pun tidak boleh menyatakan ada tidaknya kerugian negara,” tegas Marcella.
Kejagung telah menetapkan Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit periode Januari-April 2022. (jpc)