
KARAWANG,RAKA — Fenomena pelajar perempuan, bahkan anak-anak sekolah dasar, yang ikut-ikutan tren joget vulgar di TikTok menuai keprihatinan dari kalangan akademisi. Orang tua mesti waspada tren joget vulgar rambah pelajar.
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) Dr. Dewi Suprihatin, M.Pd mengatakan, maraknya anak-anak terlibat dalam konten TikTok yang tidak sesuai usia berpotensi merusak karakter dan perkembangan moral mereka.
Baca Juga : LKS Tidak Ada Ganti Modul
“Anak SD seharusnya diarahkan pada lagu anak-anak, menghafal surat-surat pendek, atau mengasah bakat bermusik dan menari dalam koridor budaya positif. Joget-joget TikTok yang vulgar jelas tidak memberikan nilai tambah dalam pendidikan mereka,” ujar Dewi, baru-baru ini.
Dampaknya, menurut Dewi, bukan hanya pada perilaku, tetapi juga pada perkembangan sikap (attitude) anak yang menjadi norak, tak terarah, dan rentan kecanduan gawai.
“Jika ini dibiarkan, akan terbentuk generasi yang dangkal secara moral dan tidak siap menghadapi masa depan,” tambahnya.
Tonton Juga : HYME GURU BIKIN MERINDING
Dewi juga menyoroti tren penggunaan istilah-istilah vulgar yang viral di media sosial seperti “tobrut” dan “pulen” yang dinilai sebagai bentuk pelecehan verbal terselubung.
Meskipun ada yang menganggapnya sebagai bagian dari budaya populer, ia mengingatkan pentingnya kesadaran etika dan cara berpakaian yang pantas.
“Sebagai orang berpendidikan, kita harus tahu batas-batas yang pantas dalam berpenampilan dan berucap, meskipun kebebasan berekspresi dijamin oleh hak asasi manusia,” ungkapnya.
Ia tak menampik bahwa sistem pendidikan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain, terutama dalam hal attitude dan kreativitas generasi muda. Salah satu penyebabnya adalah pemanfaatan digitalisasi yang lebih condong ke hiburan daripada edukasi.
“Orang Indonesia masih banyak yang terjebak pada gengsi dan kemalasan. Gawai digunakan lebih banyak untuk konsumsi hiburan daripada pembelajaran,” tegasnya.
Sebagai solusi, Dr. Dewi mendorong adanya pelatihan kreativitas dan pengembangan karakter di sekolah sejak dini. Ia juga menegaskan bahwa peran orang tua sangat vital dalam mendampingi anak-anak di era digital, bukan hanya lewat pengawasan, tetapi juga edukasi yang berkelanjutan terutama dalam pendidikan agama.
Terkait kekhawatiran sebagian kalangan bahwa Indonesia sedang mengarah ke “Indonesia Cemas” alih-alih “Indonesia Emas,” Dr. Dewi pun menyatakan setuju.
“Generasi muda sekarang lebih suka hal-hal instan. Kalau tidak dibekali keterampilan dan ketangguhan mental, mereka akan tergilas oleh zaman,” ujarnya.
Sebagai penutup, ia menyampaikan harapan kepada seluruh pihak pendidik, orang tua, dan masyarakat agar bersama-sama membentuk generasi muda yang bersemangat, berpikir positif, dan memiliki wawasan luas.
“Harapan saya, generasi muda Indonesia hidup bahagia, berpola pikir cemerlang, dan memiliki semangat belajar yang tinggi,” tutupnya. (uty)