KARAWANG

Perjalanan Kiai Muda Amo Zakaria Dari Pedagang Bakso, jadi Pimpinan Pesantren

KARAWANG, RAKA – Masa depan seseorang tidaklah ada yang tahu. Hal inilah mungkin yang terjadi pada proses perjalanan seorang Amo Zakaria (39). Pria yang pernah berjualan bakso, kini menjadi pimpinan Pondok Pesantren Roudhlotul Burhan dengan jumlah santri lebih dari 80 orang.
Amo menceritakan, awal mula mendirikan pesantren hanya di tanah seluas 2.400 meter. Kini ia telah memperluas pesantren hingga seluas 9.000 meter. Pesantren ini berlokasi di Kampung Mekarsari, Desa Pasirjengkol, Kecamatan Majalaya. Ia berpindah ke Karawang dari kota asalnya di Lampung pada tahun 2009 akibat tuntutan ekonomi. Pertama kali datang ia hanya bekerja sebagai pedagang bakso, kuli bangunan. Tidak hanya itu ia juga pernah bekerja sebagai marbot di salah satu masjid di Kecamatan Karawang Timur sekitar tahun 2011. “Ke Karawang 2009 karena tuntutan ekonomi. Di Karawang jualan bakso, jadi kuli bangunan, ngedorong ngerobak cilok (2009-2010) sampe diangkat jadi marbot di Karawang Timur sekitar tahun 2011,” ujarnya Selasa (12/3).
Kemudian itu Amo juga pernah mendapatkan kesempatan untuk mengajar. Selanjutnya hingga sekarang dirinya aktif memberikan edukasi tentang agama. Pada tahun 2018 memperoleh tanah wakaf dari keluarga muwakif. Amanah ini diperuntukkan mendirikan pondok pesantren. “Jadi kiai sebetulnya bukan cita-cita, kebeneran saja (ada rezeki). Beliau mewakafkan sebidang tanah dipinggir makam, yang mana pada saat itu masih belukar, kebun bambu dan pohon pernis,” tambahnya.
Ketika itu jumlah santri yang dimiliki hanya satu orang yang berasal dari Subang. Pondok yang pertama kali dibangun pun hanya berukuran 2×3, kiai yang pernah mengenyam pendidikan agama di Pesantren Cipasung dan Karangnunggal, Tasikmalaya ini, memanfaatkan bekas kandang sapi. Tidak hanya itu ia juga mendapatkan hinaan dari orang lain. Meski begitu tidak mematahkan semangat yang dimiliki untuk tetap menjalankan amanah. Kini jumlah santri telah mencapai lebih dari 80 orang yang berasal dari berbagai kota. “Diejek orang gak bakal bertahan lama karena lokasinya dekat kuburan, malah pas bikin pondasi pertama, kita disangka mau gali kuburan. Santrinya sekarang yang mukim sudah ada 80-an, alhamdulilah selain santri asal Karawang ada yang dari Medan, Palembang, Lampung, Sukabumi, Bandung. Saya taslim ke guru-guru, selama beliau masih ada, santri masih ada pesantren akan terus berjalan dan berkembang walaupun bertahan,” tutupnya. (nad)

Related Articles

Back to top button