Uncategorized

Ariful Bahri, Pengajar Pengajian Rutin

Di Masjid Nabawi dengan Bahasa Indonesia

Radarkarawang.id- Sudah lima tahun Ariful Bahri mengisi kajian dalam bahasa Indonesia di Masjid Nabawi, Madinah. Kini dia mulai rutin menulis agar bisa membukukan seluruh pengetahuan.
Setelah salat Isya berjemaah di Masjid Nabawi selesai, pria berjubah putih dan berserban itu melangkahkan kaki keluar masjid. Berdiri di depan gate 19 masjid. Pada Sabtu (25/5) malam itu, dengan sabar dan senyum yang terus mengembang, Ariful Bahri –pria tersebut– melayani para jemaah asal Indonesia. Mereka silih berganti menghampiri, menyapa, serta menyalaminya. Tak sedikit yang mengajaknya berfoto bersama.
Ariful dikenal luas di kalangan jemaah dari tanah air karena dialah yang menjadi pemateri dalam pengajian rutin yang berlangsung di Masjid Nabawi. Setiap selesai salat Magrib hingga jelang salat Isya. ”Alhamdulillah, semangat jemaah asal Indonesia untuk mengikuti pengajian di Nabawi begitu tinggi. Tidak hanya saat musim haji, hampir setiap hari, banyak yang hadir,” katanya.
Ustad Arif –sapaan akrabnya– satu-satunya pengisi pengajian rutin berbahasa Indonesia. Saat ditemui Jawa Pos dan sejumlah anggota Media Center Haji (MCH) Kemenag RI di pelataran Masjid Nabawi pada Sabtu malam lalu itu, dia baru saja menyajikan materi tentang larangan bagi jemaah haji setelah berihram. Selain kajian rutin berbahasa Indonesia, ada pengajian rutin dengan bahasa non-Arab yang berlangsung di Nabawi, yakni bahasa Urdu. ”Dulu, sebenarnya ada pengajian dari sejumlah bahasa lain. Mulai Inggris, India, Turki, Melayu, hingga Tiongkok. Namun, saat ini tinggal dua bahasa itu,” katanya.
Rutinitas Ustad Arif mengisi kajian rutin di Masjid Nabawi berlangsung sejak lima tahun lalu. Namun, jalan sang ustad hingga bisa mencapai titik sekarang ini telah dititinya lama. Berawal saat dia memasuki jenjang SMP. Mulanya dia ingin masuk pesantren. Namun, karena tidak memungkinkan, akhirnya dia masuk madrasah tsanawiyah (MTs) di Riau.
Saat memasuki kelas III MTs, ternyata ada sebuah pesantren yang akan dibuka. Dia lantas ditawari menimba ilmu di sana. Dia juga rela memulai kembali jenjang pendidikannya dari awal, yakni kelas I tsanawiyah. Sejatinya, pesantren tersebut belum memiliki program khusus tahfiz (hafalan Alquran). Namun, berkat ketekunan dan keseriusannya, Arif mampu menghafal Alquran saat memasuki akhir masa pendidikannya di jenjang aliyah (setara SMA/sederajat) di pesantren itu pada 2006.
Akhirnya pengasuh pesantren memberikan hadiah spesial untuknya: umrah. Setelah menyelesaikan ibadahnya di Tanah Suci, dia mendapat tawaran ikut tes beasiswa studi ke Universitas Islam Madinah (UIM). Kampus tersebut dikenal memiliki hubungan erat dengan pengurus Masjid Nabawi. Pengurus Masjid Nabawi merekrut lulusan UIM dari berbagai negara. Tujuannya, memberikan kajian bagi jemaah masjid dengan berbagai negara.
Di kampus itu, Arif menjalani studi mulai jenjang S-1 jurusan Alquran dan ushuluddin. Lalu, saat memasuki jenjang S-2 dan S-3, dia mengambil jurusan akidah. Dia bisa menyelesaikan studinya pada 2019. Setelah lulus, dia pun pulang ke kampung halaman. Namun, belum lama tiba, dia dihubungi pengurus kampus. ”Saya diminta ke Masjid Nabawi, bertemu pengurus untuk interview sebagai salah satu penceramah di masjid,” jelasnya.
Awalnya ada empat mahasiswa asal Indonesia lainnya yang mengikuti wawancara itu. Namun, dalam perjalanannya, dua orang mundur. ”Tinggal saya dan Ustad Irsyad Hasan yang lulusan S-3 hadis,” katanya.
Ustad Arif maupun Irsyad Hasan akhirnya dinyatakan lulus. Tahun itu juga, keduanya rutin mengisi kajian berbahasa Indonesia. Mereka menjadi pemateri pertama setelah hampir dua tahun tidak ada lagi pengajian berbahasa Indonesia di Nabawi. ”Sebelum kami, ada tiga ustad yang pernah menjadi pengisi kajian rutin di masjid,” ujarnya.
Setelah resmi menerima amanah itu, Ustad Arif kebagian pengajian setelah salat Magrib, sedangkan Ustad Irsyad setiap pagi setelah salat Subuh. Namun, kini hanya tinggal Ustad Arif yang masih aktif mengisi kajian. Ustad Arif kemudian mengajak istri dan empat anaknya ikut ke Nabawi. Mereka tinggal di sebuah kawasan permukiman di Madinah. Selain mengisi kajian rutin di Nabawi, Ustad Arif masih aktif ke kampus UIM. Selain menularkan ilmunya kepada para mahasiswa, dia mulai aktif menulis.
Sebab, ada satu cita-cita yang ingin dicapainya: bisa membukukan seluruh pengetahuannya. ”Salah satu kekurangan kami adalah menulis. Karena itu, kami terus berikhtiar belajar menulis,” kata Ustad Arif yang telah melahirkan sejumlah karya tulis. Di antaranya, Ziarah Madinah dan Keutamaannya serta Untukmu Wahai Tamu Allah. (asy)

Related Articles

Back to top button