
KARAWANG,RAKA- Kuasa hukum N (19), seorang remaja asal Karawang, menemukan fakta baru yang menimpa kliennya. Oleh karena itu, kuasa hukum minta guru ngaji cabul di Majalaya diadili.
Tak hanya itu, tim kuasa hukum korban juga menegaskan adanya upaya reviktimisasi dari aparat kepolisian yang justru menyudutkan korban.
Dalam audiensi yang digelar di Polres Karawang, Ketua tim kuasa hukum, Gery Gagarin Akbar, menyampaikan sejumlah fakta baru terkait kasus yang telah ramai diberitakan ini. Salah satu fakta mengejutkan adalah bahwa pernikahan korban dengan pelaku hanya berlangsung sesaat dan berakhir dengan perceraian tak lama setelah ijab kabul.
Baca Juga : SPMB Ricuh, Pemkab Langsung Mau Dirikan SMPN 3 Majalaya
“Yang menyakitkan, korban langsung diceraikan setelah ijab kabul. Ini bukan solusi, tapi bentuk tekanan sosial yang dilegitimasi. Bahkan saat kasus dilaporkan ke Polsek Majalaya, tidak ada proses hukum sama sekali. Korban pun tidak pernah dimintai keterangan,” ujar Gery, Kamis (3/7).
Ia juga membantah keras pernyataan oknum aparat yang menyebut hubungan korban dan pelaku berlangsung atas dasar suka sama suka dan bahkan sempat “check-in” di hotel. “Itu fitnah keji.
Tidak pernah ada kedekatan personal. Pelaku adalah paman korban sekaligus guru ngaji. Komunikasi hanya lewat grup WhatsApp masjid,” tegasnya.
Dian Suryana, salah satu penasihat hukum korban, menambahkan bahwa audiensi ini juga bertujuan untuk meminta klarifikasi atas pernyataan aparat Polsek Majalaya yang menyebut hubungan tersebut sebagai suka sama suka.
“Pernyataan itu tidak hanya prematur secara hukum, tapi juga tidak berperikemanusiaan. Korban belum pernah dimintai keterangan, tapi sudah divonis oleh opini aparat,” kata Dian.
Dari sisi hukum, lanjut Dian, pernyataan seperti itu bisa dikategorikan sebagai bentuk reviktimisasi, yakni memperburuk penderitaan korban melalui pengabaian hak-haknya oleh aparat penegak hukum. Hal ini bertentangan langsung dengan amanat Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menempatkan korban sebagai subjek utama perlindungan.
Tonton Juga :
“Pernyataan aparat yang tidak berdasar dan tendensius justru menghambat proses penegakan hukum serta menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian,” tegasnya.
Untuk saat ini, kasus tersebut dilimpahkan dari Polsek Majalaya ke Polres Karawang. Langkah ini diapresiasi, meski tim hukum tetap akan mengawal dan terus berkoordinask melalui jalur lain, termasuk koordinasi dengan Bareskrim, DPR RI, Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Gery juga menekankan pentingnya menjaga bukti-bukti, termasuk dugaan penggunaan air minum yang membuat korban tidak sadar, serta hasil pemeriksaan psikologis oleh P2TP2A yang akan dilampirkan sebagai alat bukti tambahan.
Kondisi psikologis korban sendiri sudah berangsur membaik, meski sempat beberapa kali pingsan akibat trauma saat mendampingi proses hukum ke Jakarta, dan kini menjalani pendampingan psikologis intensif. Lebih tragis lagi, Gery mengungkapkan bahwa pernikahan antara korban dan pelaku dipicu oleh tekanan sosial dari masyarakat desa yang menganggap kasus ini sebagai “aib” yang bisa membawa sial.
“Orang tua korban menerima pernikahan itu karena terus-menerus ditekan. Tidak ada pendampingan hukum, mereka awam dan tidak tahu bahwa tindakan itu justru memperparah kondisi anaknya,” ungkapnya.
Kini, tim kuasa hukum telah menempuh berbagai jalur, mulai dari P2TP2A, Bareskrim, hingga DPR RI. Dalam waktu dekat, mereka juga akan mengajukan laporan ke Komnas HAM dan lembaga perlindungan perempuan lainnya.
“Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan dan korban mendapatkan haknya secara penuh, baik secara hukum maupun psikologis,” tutup Dian.
Sementara itu, Kapolsek Majalaya dikabarkan telah dicopot dari jabatannya sebagai buntut dari penanganan kasus ini. Namun saat dikonfirmasi aparat kepolisian polres karawang belum memberikan keterangan resmi. (uty)