HEADLINE
Trending

Puluhan Pengemis Terjaring Razia

Mayoritas Asal Karawang

KARAWANG, RAKA – Di balik wajah-wajah letih yang kini menghuni Rumah Singgah Dinas Sosial Kabupaten Karawang, tersimpan cerita-cerita getir dari jalanan.

Mereka bukan sekadar pengamen atau peminta-minta yang kerap lalu lalang di perempatan kota mereka adalah individu yang selama ini hidup di pinggir arus, bertahan di tengah keterbatasan, dan tekanan hidup.

Baca Juga : Rona Febriana Masuk 10 Hacker Terbaik Indonesia Asal Desa Anggadita

Penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP pada Kamis lalu (4/7), di Kawasan Taman Bencong dan sekitar Stasiun Karawang menjadi titik balik bagi 24 orang yang selama ini menggantungkan hidup dari mengamen dan mengemis.

Mereka kini menjalani masa pembinaan di Rumah Singgah, dengan harapan bisa memulai lembaran baru.

Salah satu penghuni adalah Dian (40), seorang ibu yang telah bertahun-tahun mengamen demi menghidupi keluarganya. Suaminya telah tiada, dan kini ia harus sendiri mengurus anak yang sebentar lagi masuk sekolah.

“Saya mengamen buat kebutuhan sehari-hari, apalagi anak saya mau masuk sekolah, harus beli buku. Kadang bisa dapat sampai seratus lima puluh ribu per hari,” ucap Dian lirih, Jumat (4/7).

Tonton Juga : ISA WARPS, KETURUNAN MINANG

Namun ia mengakui, kehidupan jalanan bukan pilihan yang ideal. Selain tidak menentu, juga berisiko tinggi mulai dari kekerasan, penyakit, hingga penolakan sosial. Banyak dari mereka bahkan menyembunyikan identitas atau tujuan asli saat ditanya petugas.

“Kalau ditanya petugas, mereka sering bohong. Bilangnya lagi ngerongsok, nongkrong, atau numpang ngopi. Padahal ya mereka memang ngamen,” jelas Asep Riyadi, Pejabat Ahli Pertama Dinas Sosial Kabupaten Karawang.

Menurut Asep, sikap itu bukan karena niat menipu, melainkan bentuk ketakutan dan rasa malu.

“Mereka ingin dikasihani, takut dihakimi. Tapi justru itu yang kami coba ubah perlahan cara berpikir dan cara hidup mereka,” tambahnya.

Cerita senada datang dari Wiwit, pengamen lain yang sering berpindah dari Karawang hingga Cikarang. Ia juga ingin keluar dari kehidupan jalanan, tetapi terbentur keterbatasan.

“Saya cuma ingin buka usaha kecil, yang penting halal. Kalau bisa juga dibantu untuk biaya pengobatan. Udah capek di jalan,” harap Wiwit.

Selama di Rumah Singgah, para penghuni mendapatkan makan tiga kali sehari, pakaian bersih, tempat tinggal yang layak, serta layanan kesehatan dasar. Lebih dari itu, mereka juga mendapatkan motivasi dan edukasi untuk menjalani hidup sehat dan mandiri.

“Kami ajak ngobrol, kami dengarkan cerita mereka. Ini bagian dari pembinaan psikososial, supaya mereka tahu masih ada yang peduli dan mereka punya masa depan,” terang Asep.

Dari total 24 penghuni saat ini, 21 orang merupakan warga Karawang, sementara 3 lainnya berasal dari luar daerah. Dinsos berkomitmen untuk memulangkan yang berasal dari luar Karawang ke kampung halaman mereka.

“Tiga orang ini berasal dari Bekasi, Subang, dan Cianjur,” sebut Asep.

Sementara untuk warga lokal, dilakukan pembinaan agar mereka tidak kembali ke jalanan.

Namun, harapan untuk pulang masih kuat di benak para penghuni. Meski perlakuan petugas di Rumah Singgah baik dan fasilitas memadai, banyak dari mereka ingin segera kembali berkumpul dengan keluarga.

Tetapi sebagai bentuk komitmen, mereka harus menandatangani surat pernyataan untuk tidak kembali mengamen atau mengemis, terutama dengan membawa anak kecil.

“Kalau ketahuan kembali ke jalan, terutama sambil bawa anak, kami akan proses secara hukum. Ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi demi kebaikan mereka juga,” tegas Asep.

Meski demikian, para gepeng berharap mereka tidak sekadar “dipulangkan,” tetapi juga diberikan modal usaha kecil sebagai bekal agar bisa memulai hidup baru.

Tanpa dukungan ekonomi, banyak dari mereka yang mengaku mungkin akan kembali ke jalan karena tidak punya pilihan lain.

“Keluar dari sini kan gak boleh ngamen lagi. Saya pengennya jualan, tapi gak punya modal,” tutup Dian, dengan nada penuh harap. (uty)

Related Articles

Back to top button