Uncategorized
Trending

Pilih Reputasi atau Rating?

Radarkarawang.id- Jurnalistik berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Semua fungsi di atas, prosesnya dilakukan secara berjenjang.

Mulai dari perencanaan peliputan, hingga proses editing. Semuanya harus diverifikasi, sebelum ditayangkan dan dinikmati oleh pembaca atau pemiarsa.

Dalam membuat berita atau membuat konten, juga harus memenuhi unsur-unsur berita: yang paling sederhana 5 W + 1 H. What/apa (menjelaskan peristiwa yang terjadi), who/siapa (menjelaskan orang-orang yang terlibat di dalamnya), when/kapan (menjelaskan waktu sebuah peristiwa: hari, tanggal, jam), where/di mana (menjelaskan lokasi kejadian), why/mengapa (menjelaskan penyebab terjadinya peristiwa), serta how/bagaimana (menjelaskan kronologi sebuah peristiwa). Rumus umum ini digunakan untuk memperoleh gambaran utuh dari satu peristiwa. Mulai dari kejadian, alasan, hingga kronologis terjadinya suatu peristiwa.

Sebuah produk jurnalistik wajib hukumnya memperhatikan unsur-unsur di atas. Jika tidak, maka bisa dipastikan hasilnya tidak akurat. Sehingga tidak layak dikonsumsi publik. Singkatnya, karya jurnalistik tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip dasarnya: akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Selama dua hari terakhir, publik terutama santri dan warga Nahdlatul Ulama beramai-ramai mengecam stasiun televisi swasta nasional Trans7. Musababnya, tayangan segmen Xpose Uncensored yang disiarkan pada tanggal 13 Oktober 2025, dinilai merendahkan kiai dan pesantren. Hal lainnya, ilustrasi yang ditampilkan merupakan video aktivitas kiai sepuh di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pesantren yang punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini.

Baca juga: Kurangi Beban TPAS Jalupang

Yang membuat fatal, tayangan tersebut tidak menampilkan konfirmasi apapun dari pihak pesantren. Hanya ada narasi versi pengisi suara. Padahal jika tayangan tersebut merupakan sebuah produk jurnalistik, wajib hukumnya memuat konfirmasi dari pihak-pihak yang menjadi sumber berita. Bahkan bisa pula mengkonfirmasi narasumber lain yang berkompeten sebagai penyeimbang. Bisa pakar pendidikan, sosiolog, antropolog, atau narasumber lainnya yang memahami tema yang diangkat.

Sangat disayangkan jika prinsip-prinsip dasar jurnalistik diabaikan. Padahal saat ini media massa tengah berperang dengan tayangan-tayangan hoaks yang setiap hari berseliweran di dunia maya. Seharusnya, medaia massa memberi contoh dengan menayangkan informasi-informasi yang sudah terverifikasi kebenarannya. Bukan malah terbawa arus media sosial yang pada umumnya lebih mementingkan viral ketimbang mendahulukan nilai-nilai kebenaran.

Pada bagian lain, Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyebutkan, Pers Nasional berkewajiban menyiarkan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama, kesusilaan, dan asas praduga tak bersalah. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1). Sementara dalam penjelasannya disebutkan, pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.

Jika merujuk pasal di atas, sudah secara jelas diatur bahwa pers atau media, dilarang menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, sebelum ada putusan tetap dari proses peradilan. Dalam hal ini, pemuatan narasi yang membuat ngilu tentang kiai dan pesantren, sudah jelas dan gamblang melanggar pasal tersebut.

Tonton Juga: PELAKU PENGANIAYAAN DO DI BEKUK POLISI

Sebagai pihak yang punya kewenangan menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik sebagaimana fungsinya yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c UU No 40 Tahun 1999, Dewan Pers harus segera menetapkan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Apakah dalam konteks tayangan Xpose Uncensored Trans7 tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Sehingga aspek keadilan dalam pemberitaan bisa dirasakan pihak yang dirugikan.

Sedangakan dari sisi regulasi penyiaran, apa yang ditayangkan Trans7 tersebut, terindikasi melanggar Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran atau P3 Pasal 6 ayat 1 dan 2, serta Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 huruf (a) Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran atau SPS.

Sesuai ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran, lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/atau kehidupan sosial ekonomi. Sedangkan ketentuan SPS menyebutkan, program siaran dilarang melecehkan, menghina, dan/atau merendahkan lembaga pendidikan. Secara khusus pada pasal 16 ayat 2 huruf (a) memuat ketentuan penggambaran tentang lembaga pendidikan harus mengikuti ketentuan tidak memperolok pendidik/pengajar. 

Jika melihat dari sisi regulasi yang ada, kasus ini perlu dibuktikan dengan penegakan proses hukum. Agar keadilan menerima dan memberikan informasi bagi masyarakat benar-benar terjamin. Sehingga kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari. Jangan sampai terulang lagi, orang-orang baik tiba-tiba dipermalukan dan disiarkan layaknya para koruptor yang kena operasi tangkap tangan. Sungguh sangat tidak adil jika persoalan ini diselesaikan tanpa ada putusan benar dan salah. Pertanggungjawaban bukan hanya kata-kata maaf, tapi berani menerima risiko atas perbuatan yang telah dilakukan.

Sebuah media massa seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat agar menghadirkan informasi yang benar dan terverifikasi. Media massa harus berfungsi sebagai sebagai rumah penjernih informasi. Bukan malah terbawa oleh arus media sosial yang cenderung tanpa filter. Media massa punya kewajiban menjelaskan makna di balik gambar, bukan mendistorsi, atau memaknai sendiri gambar yang beredar. Jangan sampai mempertaruhkan reputasi demi rating.

Jangan salahkan pula, jika ada masyarakat yang mencurigai tayangan tersebut disusupi agenda terselubung pihak-pihak yang ingin merusak nama baik kiai dan pesantren akibat lemahnya dapur redaksi. Agar duduk persoalannya terang benderang, kasus ini harus diproses sampai tuntas sesuai hukum yang berlaku. Wallahu a’lam bishawab. (*)

A. Taufiq Hidayat

Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Karawang

Related Articles

Back to top button