HEADLINEKARAWANG

Spanduk Protes di Meja Rapat

SPANDUK PROTES: Aktivis lingkungan memasang spanduk penolakan terhadap PT Atlasindo di meja rapat. Para aktivis meminta agar PT Atlasindo tidak beroperasi lagi.

  • Pembahasan Atlasindo Ricuh

KARAWANG, RAKA – Peserta rapat pembahasan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UPL/UKL) PT Atlasindo ricuh. Para aktivis menginginkan agar tidak ada pertambangan di wilayah selatan.

Spanduk dengan tulisan “Tolak Atlasindo” dibentangkan oleh aktivis lingkungan di depan pada meja pimpinan rapat. Luapan kekesalan dari para aktivis pegiat lingkungan mewarnai jalannya rapat tersebut. Para aktivis lingkungan meminta dan mendesak menolak perusahaan tambang PT Atlasindo. Bahkan bentuk kekesalan dari para aktivis diluapkan dengan melemparkan meneriaki dan menghampiri pimpinan rapat serta pihak PT Atlasindo yang hadir dalam kegiatan tersebut. “Ini bukan lagi harus perbaikan dokumen. Tetapi harus menutup kegiatan pertambangan PT Atlasindo,” teriak Erik Ramdani, saat rapat berlangsung, Rabu (16/10).

Erik mengatakan, penolakan tersebut didasari karena adanya ketidak sesuaian dengan RTRW di Karawang. Dalam Perda RTRW tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa di wilayah tersebut dibolehkan untuk melakukan aktivitas pertambangan. Selain itu, adanya pertambangan juga sangat berdampak terhadap masyarakat yang berada di lima desa di Kecamatan Tegalwaru. “Secara aturan UKL dan UPL itu cacat. Karena seharusnya Atlasindo itu wajib amdal dan melakukan studi kelayakan. Bukan UKL UPL,” paparnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Karawang Wawan Setiawan, yang menjadi pimpinan dalam rapat tersebut mengatakan, kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari izin lingkungan PT Atlasindo pada 28 Oktober 2018 yang merupakan lanjutan UKL dan UPL. “Sebab izin lingkungan yang dimiliki saat itu ada masalah, khususnya masalah sosial dan masalah teknis,” kata Wawan usai rapat.

Wawan mengatakan, pihaknya meminta agar menyelesaikan permasalahan sosial dan teknis itu, dan dalam kurun waktu satu tahun permasalahan sosial seperti CSR dan lain-lain sudah selesai, yang dibuktikan oleh tandatangan warga dan diketahui oleh kepala desa. “Persetujuan ini di tandatangani juga oleh Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan),” tuturnya.

Dikatakan Wawan, ada pro dan kontra, dalam penyelesaian persoalan tersebut, namun aparat yang paling bawah dalam hal ini BPD dan kepala desa hanya menyampaikan ada sebagian masyarakat di wilayah Kecamatan Tegalwaru yang membutuhkan keberlangsungan adanya PT Atlasindo. “Kita anggap permasalahan sosial yang berdampak penutupan Atlasindo itu sudah selesai,” katanya.

Ditambahkan Wawan, permasalahan kedua soal teknis dan dari masukan berbagai pihak mulai dari ESDM Provinsi Jawa Barat, dinas perizinan dan dinas-dinas lainnya menyatakan jika dokumen UKL UPL yang disampaikan oleh PT Atlasindo masih banyak kekurangan mulai dari gambar teknis, kajian ekonomi dan lainnya. “Dalam hal ini kami akui tidak memiliki kemampuan kaitan dengan penanganan pertambangan. Oleh sebab itu, kami minta Kementerian ESDM dan ESDM Provinsi Jawa Barat untuk datang dalam rapat pembahasan ini,” katanya.

Maka dengan adanya evaluasi dokumen dari pihak-pihak terkait itu, lanjut dia, maka PT Atlasindo harus segera memperbaiki dokumen sesuai rekomendasi tim teknis itu. “Kalau sudah diperbaiki, kami akan melakukan sidang kembali,” paparnya.

Di tempat yang sama, Kepala Teknik Cabang Aris Wijaya mengatakan, pihaknya tidak menentang aturan yang sudah ditetapkan.
“Pengen stop kan ya wis. Kita tidak menentang aturan yang sudah ditetapkan,” singkatnya usai rapat. (nce)

Related Articles

Back to top button