Dampak Buruk Pencemaran Minyak Pertamina Belum Usai

PERBAIKI PERAHU: Dua orang nelayan di Pantai Pakis sedang memperbaiki perahu, Selasa (29/10). Tangkapan yang semakin menurun, membuat para nelayan semakin menderita.
Tangkapan Nelayan Seret
PAKISJAYA, RAKA – Pada umumnya masyarakat pesisir pantai berprofesi sebagai nelayan. Maka tak heran untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya mengandalkan hasil tangkapan ikan, rajungan maupun udang. Namun, seiring perkembangan zaman dan banyaknya industri, pengahasilan para nelayan bukan malah naik, melainkan semakin menurun.
Sakim (65) warga Dusun Paksidua, Desa Tanjungpakis, Kecamatan Pakisjaya, mengaku sejak tahun 1973 sudah mulai mencari ikan di laut. Saat itu pengahasilannya pun cukup memuaskan dibanding sekarang. Selain cuaca, yang menyebabkan pendapatannya menurun drastis, yaitu banyaknya perusahaan di bibir pantai Karawang maupun Jakarta. “PT Pertamina yang ada di sana (Pakisjaya) juga menjadi penyebab (menurunnya pengahasilan tangkapan ikan), belum lagi perusahaan di Jakarta,” jelasnya kepada Radar Karawang, Selasa (29/10).
Sebelum menginjak tahun 2000an, hasil tangkapan ikan mencapai kwintalan per hari, bahkan sampai lima kwintal. Berbeda dengan sekarang, yang hanya mendapat kiloan per hari, apalagi pascakebocoran minyak Pertamina di daerah Cilamaya yang dampaknya sampai ke Pantai Pakis. Selain penghasilan menurun drasis, ada nelayan yang pulang hanya membawa dua ekor ikan. “Saya kemarin (Senin) cuma dapat satu kilo saja, apalagi yang lain cuma dapat ekoran,” katanya.
Menurut Sakim, persoalan nelayan bukan hanya tangkapan ikan menurun, melainkan ada yang lebih sadis dari itu. Seperti pencurian jaring. Kendati demikian, Sakim berharap Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana mendatangi nelayan dan turut mendengarkan keluh kesah yang dialami para pencari ikan di laut.
Saat ini, kata Sakim, pemerintah tak lagi mempedulikan nasib nelayan. Sebab selama periode kepemimpinan Celiica Nurrachadiana tak kunjung bantuan apapun. Padahal sebelum menjadi bupati Karawang periode 2015-2020, Cellica sempat datang dan berjanji akan memberikan sumbangan kepada nelayan. “Waktu zaman Suharto, nelayan itu dianakemaskan, seperti ada bantuan mesin dan jaring,” ujarnya.
Wahyudin (48) warga Pakissatu, Desa Tanjungpakis, mengatakan, sejak usia 17 tahun sudah menjadi nelayan. Saat ini penghasilannya jauh berbeda dibanding sebelum terjadinya kebocoran Pertamina. Bahkan sering nombok untuk biaya ongkos melaut. Walaupun sering tekor, dirinya tetap melaut, sebab tak biasa bekerja di darat. “Sekarang saja gak sampai dapet satu kilo, terus ongkos berangkat minimal Rp50 ribu. Sedangkan harga udang halus perkilonya itu Rp25 ribu,” katanya.
Tak heran bila nelayan selalu memiliki utang dengan tengkulak, sebagaimana Jali (45), dirinya mengaku baru lima tahun menjadi nelayan di Pantai Pakis. Sedangkan perahu yang digunakan sehari-hari hasil dari meminjam uang dari tengkulak sebanyak Rp20 juta. “Banyak jaring orang lain juga yang dicuri, kebanyakan malam hilangnya,” pungkasnya. (mra)