HEADLINEKARAWANG

Rajungan Langka, Nelayan Murka

TUNTUT GANTI RUGI: Sejumlah emak-emak Pasirputih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, mendatangi kantor Pemkab Karawang, Senin (20/1). Mereka merasa dirugikan akibat kebocoran minyak mentah Pertamina.

Pertamina Diminta Tanggung Jawab

KARAWANG, RAKA – Merasa dirugikan akibat kebocoran minyak mentah Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang mencemari laut Karawang, ratusan nelayan dari Cilamaya Wetan mendatangi kantor bupati Karawang, Senin (20/1).

Kedatangan ratusan nelayan dari Pasirputih, Desa Sukajaya, itu merupakan bentuk kekesalan terhadap kondisi laut di Karawang yang tercemar sejak bulan Juli 2019, karena membuat para nelayan kehilangan pendapatan dari tangkapan rajungan yang selama ini menjadi mata pencahariannya.

Setibanya di depan pintu gerbang kantor bupati, para nelayan yang datang menggunakan empat mobil truk itu langsung turun dan memaksa masuk. Pintu gerbang yang sudah ditutup rapat, sempat berhasil dibuka oleh desakan massa aksi yang memaksa untuk masuk. Namun pihak keamanan yang berada di lokasi bisa meredam desakan dari massa yang sebagian besar emak-emak paruh baya. “Saya punya anak 10 sampai susah makan karena tidak ada rajungan yang bisa didapatkan. Itu semua karena laut tercemar oleh Pertamina,” teriak Wartinah kesal.

TUNTUTAN: Ratusan warga Pasirputih membentangkan tuntutan di depan kantor Pemkab Karawang.

Sembari memegang pengeras suara, Wartinah yang merupakan salah satu nelayan di Pasirputih, itu terus berteriak menyampaikan aspirasi dan kekecewaannya. Ia juga menagih kompensasi yang dijanjikan akan diberikan kepada para masyarakat yang terdampak. “Jangan hanya duduk enak di sana (kantor pemda). Lihat kami yang sangat kesusahan. Jangan janji-janji doang,” ujarnya.

Warga lainnya, Icah (60) mengatakan, jika laut tidak tercemar oleh limbah minyak, rajungan yang berhasil ditangkap oleh suaminya dalam sehari bisa mencapai 20 kilogram. Namun karena kondisi laut tercemar oleh tumpahan minyak, untuk menangkap 10 ekor rajungan saja sangat sulit. “Sehari paling dapat satu atau tiga rajungan. Karena rajungannya pada mati gara-gara lautnya tercemar,” ungkapnya.

Massa aksi lain, Eha Soleha (30) mengatakan, sejak bulan Juli lalu tak ada kejelasan mengenai kompensasi yang akan diberikan. Makanya para nelayan ingin menagih kompensasi yang seharusnya didapat, karena menjadi korban pencemaran tersebut. Terlebih pada bulan November, Desember dan Januari seharusnya pendapatan para nelayan dari hasil tangkapan rajungan sedang melimpah. “50 kg sampai satu kwintal sehari biasanya di bulan Desember sampai Januari ini. Panen seharusnya, tapi malah gak ada sama sekali. Dulu memang pernah ada yang diberikan kompensasi tapi tidak semuanya,” tutur Eha yang mengaku istri seorang nelayan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Karawang Wawan Setiawan yang melakukan mediasi dengan para nelayan mengatakan, nelayan di Pasirputih itu dampak baru yang timbul karena adanya tumpahan minyak sejak bulan Juli. Pemerintah daerah akan berkoordinasi dengan Pertamina dan akan membahas masalah tersebut. Untuk sementara para nelayan akan diberikan beras sebagai kompensasi atas kerugian yang dialaminya. “Tadi pak sekda mengambil langkah untuk koordinasi dan mengundang Pertamina. Nanti akan didata dan diverifikasi lagi. Karena ini baru,” katanya.

Koordinator aksi Masruin mengatakan, tuntutannya untuk mencairkan kompensasi dari Pertamina ditunda selama satu bulan, untuk menunggu kajian dari pihak terkait. “Pokoknya kami meminta kedepan uang kemanusiaan itu dicairkan. Untuk sementara kami akan dikasih beras,” ujarnya.

Ia juga menuturkan, perekonomian atau aktivitas para nelayan di Pasirputih lumpuh total. Padahal seharusnya pada bulan November, Desember dan Januari satu orang nealayan bisa mendapatkan Rp300 ribu dalam sehari dari hasil tangkapan rajungan. “Jika dirata-ratakan kerugian kami Rp300 ribu sehari. Karena ini waktunya kita panen. Rajungan lagi banyak di bulan ini,” terangnya. (nce)

Related Articles

Back to top button