
Peneliti Indo Baromator Cecep Sopandi
KARAWANG, RAKA – Pasar elektoral pemilih muda pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Karawang masih terbuka lebar bagi para pasangan calon bupati dan wakil bupati. Namun, butuh cara yang kreatif untuk menarik perhatian pemilih milenial ini. Ini tergambar dalam hasil survei opinion leader Radar Karawang.
Menurut peneliti Indo Barometer Cecep Sopandi, pilkada kali ini dilaksanakan di masa pandemi Covid-19, sehingga dalam pelaksanaannya tidak seperti biasa pada pelaksanaan pilkada sebelumnya. Hal ini turut mempengaruhi pandangan masyarakat yang berdampak pada tingkat partisipasinya dalam mengikuti pemilihan, terutama pemilih muda. “Pada kondisi ini survei ini relevan untuk mengukur sejauh mana persepsi pemilih muda dalam menghadapi Pilkada 2020 di Kabupaten Karawang,” ungkapnya.
Cecep mengatakan, Pilkada Karawang 2020 akan sangat ditentukan oleh dukungan elektoral para pemilih muda. Hal ini tercermin dari beberapa fakta. Pertama, jumlah pemilih muda di Pilkada Karawang 2020 sangat besar dan potensial. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Karawang, jumlah pemilih muda dari usia 17-40 tahun berjumlah 845.492 orang atau sekitar 51 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Karawang sebesar 1.643.490 orang.
Kedua, besarnya pemilih muda pada Pilkada 2020 di Kabupaten Karawang jika melihat dari hasil survei ini masih menjadi pasar terbuka dalam kontestasi politik di Karawang. “Disebut pasar terbuka, sebab semua kandidat memiliki peluang yang sama besar untuk menggaet suara mereka untuk dikonversi sebagai insentif elektoral guna bisa memenangkan Pilkada Karawang. Dengan kata lain, keberadaan mereka saat ini bisa dikatakan sebagai sejenis “swing voter” (pemilih mayoritas yang belum punya kecenderungan pilihan),” tuturnya.
Ketiga, kondisi pasar elektoral pemilih muda ini semakin dipertegas oleh temuan survei ini bahwa pasar untuk memperebutkan suara pemilih muda sangat terbuka dan kompetitif. “Hal itu tercermin dari perolehan suara yang relatif tipis,” ujarnya.
Hasil survei, kata Cecep, juga menunjukan gambaran yang cukup kompetitif dalam hal elektabilitas pasangan calon pada Pilkada Karawang 2020. Pasangan Cellica-Aep (19,1%), Jimmy-Yusni (14,3%), dan Yesi-Adly (11,9%).
Raihan elektabilitas yang kompetitif ini menunjukkan bahwa belum ada kandidat yang secara dominan berhasil melakukan persuasi terhadap pemilih muda. Selain itu, masih banyak pemilih muda yang belum banyak menentukan pilihan. “Ada sebesar 35% yang masih merahasiakan, 16,7% belum memutuskan memilih dan 2,4% tidak akan memilih. Meskipun demikian, tingkat partisipasi pemilih muda dalam Pilkada 2020 di Kabupaten Karawang ini cukup tinggi, yakni di angka 66,7%,” ujarnya.
Dari gambaran tersebut, kata Cecep, menunjukkan bahwa ketiga pasangan calon belum cukup ampuh menggunakan strategi yang jitu dalam menarik perhatian, serta adaptif terhadap pemilih muda. “Ketiganya masih menggunakan kampanye yang tradisional dan normatif, belum cukup kreatif memaksimalkan momentum kampanye yang sesuai dengan gaya pemilih muda,” katanya.
Cecep menjelaskan, masalah rendahnya dukungan dari pemilih muda terhadap para kandidat di Pilkada Karawang 2020, dan masih besarnya persentase dalam merahasiakan pilihan politik, nampaknya bisa dibaca dengan menguraikan beberapa karateristik para pemilih muda. Pertama, pemilih muda ini cenderung berpikir rasional dan memiliki daya nalar kritis terhadap lingkungan. Daya nalar kritis ini tentu saja salah satunya diperkaya oleh besarnya akses mereka terhadap informasi dan ilmu pengetahuan dalam menentukan keputusan politiknya. “Sehingga mereka tidak mudah ditaklukkan oleh janji-janji politik atau kemasan citra belaka,” imbuh magister ilmu komunikasi ini.
Kedua lanjutnya, pemuda juga dibayangi oleh apatisme politik yang melahirkan pandangan tidak peduli terhadap momen-momen politik seperti pilkada. Apatisme politik ini bisa disebabkan oleh dua hal. Di satu sisi, kurangnya informasi jelas dan luas, di mana mereka tidak paham kaitan politik dengan kondisi keseharian kehidupan praktis mereka. Dengan menganggap bahwa politik tak ada kaitannya dengan kepentingan hidup sehari-hari, maka mereka menjadi apatis.
Disebutkannya, apatisme bisa muncul karena keberlebihan asupan informasi yang mereka terima. Terutama terkait dengan kebobrokan elit politik atau isu dan janji kampanye kandidat yang sangat normatif, serta tidak menyentuh kebutuhan praktis mereka sehingga membawa mereka pada situasi hilang kepercayaan kepada politik dalam bentuk apapun. “Apatisme yang dipicu oleh hal kedua ini makin marak, sebab kehadiran teknologi informasi saat ini telah membuka secara telanjang persoalan politik di tingkat elit,” ujar alumni MAN 2 Karawang itu.
Menurutnya, survei ini juga mengungkap persoalan praktis yang dialami dalam keseharian pemilih muda. Kondisi-kondisi yang diuraikan sebelumnya, yakni sikap kritis dan apatis pemilih muda yang susah untuk dikonversi menjadi insentif elektoral bagi masing-masing kandidat mestinya menjadi momentum yang pas untuk meninjau pada masing-masing diri mereka. Persoalan rendahnya dukungan pemilih muda Karawang yang tercermin dengan banyaknya yang masih merahasiakan pilihannya, dan juga yang masih belum menentukan pilihan mereka menandakan bahwa yang ditawarkan oleh para kandidat belum menyentuh sisi kongkrit kepentingan politik mereka. “Sejauh persoalan belum berhasil mengidentifikasi keluhan dan kebutuhan pemilih muda, maka tentu susah untuk bisa memperoleh dukungan elektoral mereka,” katanya.
Hasil survei juga menyebutkan setidaknya ada tiga masalah besar yang dihadapi kalangan pemilih muda, yakni sulitnya lapangan kerja dan ketenagakerjaan (21,4%), masalah pengangguran (11,9%), dan masalah pemberdayaan pemuda (11,9%). Oleh sebab itu, kata Cecep, pertama, para kandidat harus mampu menghadirkan program kampanye yang kongkrit, yang sejalan dengan kepentingan pemilih muda. “Setidaknya tiga masalah besar yang ditunjukkan hasil survei Radar Karawang di atas mampu diakomodir sebagai bagian dari isi kampanye para kandidat,” beber dia.
Kedua, para pemilih muda ini merupakan kalangan yang sangat dekat dengan teknologi. Bahkan tiap harinya hampir mereka menghabiskwan waktunya dengan mengonsumsi konten-konten yang beredar di media sosial. “Sebab itu, metode kampanye harus disesuaikan dengan tren ini,” tuturnya.
Ia melanjutkan, kampanye harus berbasis digital, bisa dinikmati dalam bentuk konten-konten kreatif dalam bentuk gambar, video, atau caption dan disebarkan melalui media sosial yang akrab pada kalangan pemilih muda. “Dengan mengakomodir kepentingan pemilih muda, dan melalui pendekatan kampanye kreatif berbasis digital, maka besar kemungkinan, para pemilih muda tergerak untuk memberikan dukungan politik elektoralnya dalam pilkada Karawang 2020,” ungkapnya.
“Siapa yang paling mampu beradaptasi dengan kepentingan pemilih muda, maka diyakini kandidat itulah yang bakal memenangkan hati dan insentif dukungan elektoral dari pemilih muda,” pungkasnya. (psn)