KARAWANG

Resiliensi: Pertahanan Mengatasi Stres di Masa Pandemi

Oleh: Nadia Aulia Rahma, Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MEREBAKNYA Covid-19 menciptakan banyak perubahan yang sangat cepat dalam keseharian kita, seakan terjadi dalam satu jentikan jari. Perubahan yang mendadak ini membuat kita merasa takut dan bingung.
Rasa takut dan bingung yang kita rasakan memicu emosi yang bergejolak. Kita merasa terisolasi dan diasingkan. Ketidakpastian akan kapan pandemi berakhir memang meresahkan, sebab perubahan selalu terjadi tanpa adanya kontrol. Selalu saja ada hal baru yang memaksa kita untuk beradaptasi secara cepat. Semua ini membuat kita merasa stres. Lalu, bagaimana cara kita mengatasi stres di masa pandemi?

Stres di Masa Pandemi, Wajarkah?
Peter Panzarino, seorang psikiater asal New York, mengatakan “Stress is simply a fact of nature—forces from the outside world affecting the individual.” (Panzarino, P. 2008). Panzarino menjelaskan bahwa stres adalah dorongan alami. Stres berasal dari luar diri manusia dan memengaruhi manusia. Stres adalah cara tubuh kita merespon situasi yang membuat kita merasa tertekan atau terancam. Stres berasal dari faktor luar, yang mana kita tak dapat mengontrol apapun yang berada di luar diri kita. Sehingga, perlu diketahui bahwa stres yang kita rasakan di masa pandemi merupakan hal yang wajar.

Mengatasi Stres dengan Resiliensi
Edith Grotberg, seorang psikolog asal Birmingham, mendefinisikan resiliensi sebagai “Universal capacity which allows a person, group or community to prevent, minimize or overcome the damaging effects of adversity.” (Grotberg, E. 1995). Dalam pernyataannya, Grotberg menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan kita untuk memperkecil dampak dari sesuatu yang merusak, seperti stres contohnya. Resiliensi membantu kita beradaptasi terhadap perubahan kebiasaan, pemikiran, dan perilaku sangat diperlukan untuk menghadapi stres di masa pandemi. Maka, dengan reesiliensi, kita akan mampu melewati masa-masa sulit, seperti di masa pandemi ini.

Memperkuat Resiliensi
Edith Grotberg mengatakan, “Resilience is a result of the interaction between resilient factors belonging to three different levels: social support (I have), skills (I can) and inner strength (I am).” (Grotberg, E. 1995). Resiliensi terbentuk dari tiga faktor, yaitu dukungan sosial, kemampuan, dan kekuatan diri. Resiliensi dapat ditingkatkan dengan memperkuat tiga faktor tersebut. Seseorang yang memiliki resiliensi telah mencapai tiga hal, yaitu berkembang secara internal, menerima support dari luar, dan memperoleh kemampuan sosial dan resolusi konflik.
Perubahan di masa pandemi memicu rasa stres. Stres adalah hal yang wajar, tetapi stres dapat selalu kita atasi dengan resiliensi. Semakin tinggi resiliensi kita, maka akan semakin mudah kita mengatasi rasa stres di masa pandemi. (*)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button