KARAWANG, RAKA – Malam sebelum pencoblosan pemilihan kepala desa (pilkades), masyarakat harap-harap cemas. Bukan karena masih bingung mau memilih siapa, tapi apakah akan ada tim sukses yang mendatanginya, lalu mendapatkan sejumlah uang. Maklum, di setiap perhelatan pesta demokrasi tingkat desa, bagi-bagi uang sebelum pencoblosan sudah menjadi rahasia umum.
Adin (43) misalnya, warga di Kecamatan Kotabaru itu mengaku mendapat uang Rp250 ribu dari salah satu timses calon kepala desa. “Tadi ada yang datang ke rumah. Akhirnya dapat juga uang dari calon,” ungkapnya yang meminta asal desanya tidak disebut kepada Radar Karawang, kemarin.
Ia melanjutkan, dia sempat menanti-nanti kedatangan timses. Karena dia berkeyakinan setiap pilkades pasti calon kades bagi-bagi uang agar dukungan masyarakat tidak lepas. “Sudah biasa seperti ini. Lumayan, gak setiap hari kan,” ungkapnya.
Lain halnya dengan Baedah (48). Dia mendapat uang dari beberapa calon kades melalui tim suksesnya. Menurutnya, setiap perhelatan pilkades itu sudah jadi biasa. “Dari kades (inkumben) dapat, dari calon lain juga dapat,” ujarnya.
Menurutnya, meski mendapat uang dari beberapa calon, dia sudah menentukan pilihannya. “Kalau mau nyoblos siapa, sudah ada. Meskipun dikasih uang sama yang lain, tetap nyoblos yang saya suka,” paparnya.
Salah satu timses yang enggan disebutkan namanya mengaku, pada malam Minggu dia bagi anggotanya ke beberapa titik agar tidak ada tim lain yang masuk ke kampungnya. “Kita sweeping terus, agar suara warga sini tetap ke pak haji,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, warga kampungnya sudah dipastikan memilih jagoannya. Selain karena unsur kedekatan, juga sudah diberi sejumlah uang. “Ya kalau engga gitu, nanti warga ke yang lain,” katanya.
Pengamat politik, Agung Gunawan Warja mengatakan, pilkades yang memiliki otoritas memilih pemimpin di desa hanya diselenggarakan panitia yang notabenenya bukan dari KPU, atau Panwaslu yang tidak punya aturan khusus. Makanya politik uang perlu waktu panjang untuk menghilangkan. “Butuh proses, yang pertama adalah penyelanggara dan peserta harus memberikan edukasi ke masyarakat secara intensif,”tuturnya.
Karena itu, untuk mengedukasi pemilih agar tak pragmatis, edukasi tentang bahaya politik uang perlu digelar secara intens. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menilai politik uang dalam pemilihan kepala desa sudah ada sejak zaman dahulu. Giri bercerita bahwa ia dulu pernah mengalami adanya jual-beli suara ketika pemilihan kepala desa di kampungnya. Saat itu, kata Giri, harga satu suara per-orang di desanya senilai Rp25 ribu.
Lebih lanjut, Giri berpandangan bahwa jual-beli suara untuk jadi kepala desa itu masih ada hingga saat ini. Bahkan, dari hasil penelusuran Giri, harga satu suara untuk jadi kepala desa saat ini, nilainya mencapai Rp1 Juta.
Kassi Tata Kelola Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Karawang Andri Irawan mengatakan, jika ditemukan ada pertemuan calon kades dengan masyarakat dan dibumbui dengan politik uang, acara tersebut akan dihentikan oleh tim panitia tingkat kecamatan. “Larangan kegiatan politik uang dalam pilkades serentak ini sudah diatur dalam peraturan gubernur,” jelasnya.
Ia melanjutkan, kegiatan bagi-bagi uang yang dilakukan oleh calon kepala desa tersebut hanya diberhentikan kegiatannya saja, dan tidak mengganggu jalannya atau jadwal tahapan pilkades serentak. “Jadi pengawasan yang dilakukan oleh tim kabupaten melalui tim kecamatan, lebih bersifat preventif atau pencegahan,” kata Andri.
Plt Kepala DPMD Kabupaten Karawang Akhmad Hidayat mengatakan, berdasarkan pantauannya tidak mengetahui ada politik uang.
“Sementara ini saya tidak mengetahui terjadi seperti itu (politik uang),” ujarnya. (mra/psn)