Anne-Dedi Mulyadi Perang Pernyataan

PURWAKARTA, RAKA – Sidang gugatan cerai Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika terhadap suaminya, Dedi Mulyadi, kembali digelar di Pengadilan Agama Purwakarta, Rabu (16/11).
Anne Ratna Musika selaku penggugat dan Dedi Mulyadi sebagai tergugat menghadiri sidang beragendakan mediasi dan pokok perkara tersebut.
Anne datang lebih awal menggunakan kendaraan roda empat. Sementara Dedi Mulyadi datang diantar tukang ojek online. Dia mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa ikat kepala, langsung masuk ke ruang mediasi.
Di ruang itu sudah hadir sang istri Anne Ratna Mustika mengenakan pakaian serba cream. Tak lama mediasi pun dilanjut ke materi sidang pokok perkara. “Soal pokok materi gugatan. Pertama adalah soal rumah tangga yang mengalami permasalahan sejak beberapa tahun belakangan. Jadi jalan akhir adalah gugatan cerai,” kata Anne, usai sidang.
Menurutnya, perselisihan terjadi karena soal manajemen keuangan rumah tangga yang dianggap tidak terbuka. Kemudian, pihak tergugat dianggap tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Terakhir, Anne merasa mengalami kekerasan verbal atau KDRT secara psikis.
“Itu yang menyebabkan perselisihan terus menerus dalam ruma tangga kami. Sehingga tadi mediasi tidak ada kesepakatan dan langsung masuk ke pokok perkara,” ujar Anne menegaskan.
Sementara itu, Dedi Mulyadi menyebut tidak sepenuhnya mediasi gagal. Sebab dalam mediasi perkara hak asuh anak yang semula menjadi pokok perkara berhasil diselesaikan. Sehingga anak menjadi hak kedua belah pihak.
“Saya sebenarnya menghadapi seorang istri yang baik. Menurut saya embu itu adalah istri yang baik, cuma embu itu sayang terhadap pada keluarganya kemudian sangat hormat dan patuh pada gurunya. Itu yang menjadi sesuatu barangkali kegelisahan dia antara ketaatan pada guru dan ketaatan pada suami,” ujar Dedi.
Terkait tuduhan KDRT psikis, dia pun menjelaskannya secara santai. Menurutnya dalam undang-undang disebutkan ciri wanita atau istri yang mengalami hal tersebut. Pertama adalah murung secara terus menerus, kedua kehilangan kepercayaan diri dan terakhir tidak bisa mengambil keputusan.
Jika dilihat dari hal tersebut menurutnya, tentu saja Anne yang kini menjadi Bupati Purwakarta tidak mengalami ketiga ciri tersebut. “Pertanyaannya adalah, apakah ada tanda-tanda itu pada embu Anne? Murung terus, tidak bisa mengambil keputusan, kehilangan percaya diri. Menurut saya terbalik, embu sebagai bupati saat ini justru sangat pede (percaya diri),” ujarnya.
Dia juga mempertanyakan apa yang kurang dari sisi ekonomi keluarga. Semua sudah tercukupi terlebih Anne sebagai bupati banyak difasilitasi oleh negara mulai dari makan, minum, mobil, pakaian hingga ajudan.
Kemudian, ketiga anaknya hidup serba berkecukupan. Anak pertamanya sebentar lagi menyelesaikan kuliah di salah satu PTN di Bandung. Begitu juga anak keduanya yang baru masuk PTS di Bandung dibiayai oleh Dedi.
“Anak yang paling besar sudah hampir selesai di Unpad, yang kedua masuk di Unpar fakultas hukum biayanya dari mulai uang masuk sampai biaya kos saya yang jamin. Yang bungsu lagi lucu-lucunya diasuh oleh Teh Elis. Biaya pengasuhannya gaji tiap bulannya saya yang menjamin, karena tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga,” beber Dedi.
Tidak hanya itu sejumlah aset keluarga pun sangat mencukupi untuk anak cucu. Seperti di Pasawahan yang menjadi rumah keluarga dan tempat anak-anak dibesarkan. Begitu juga rumah di Wanayasa yang menurutnya juga sangat layak.
“Itu saya urus tiap hari dan bayar pajak juga listrik yang setiap bulannya lebih dari Rp20 juta, itu saya yang bayar. Di situlah hidup saling bersama, saling berbagi, urusan beras sudah ditanggung negara, urusan lain saya yang nanggung termasuk aset-aset anak saya untuk masa depan,” bebernya.
Sebagai pemimpin, lanjut Dedi, sudah sepatutnya tidak lagi memikirkan diri sendiri. Namun yang lebih penting seorang pemimpin harus memikirkan kepentingan rakyat yang mana saat ini masih banyak mengalami kesusahan mulai dari PHK hingga urusan usia muda menjadi PSK untuk menyambung hidup. “Itu yang harus kita pikirkan. Karena pemimpin itu sudah tidak boleh lagi memikirkan dirinya. Pemimpin itu ditugaskan memikirkan rakyat,” kata Dedi.
Soal tuduhan syariat Islam, Dedi mempertanyakan Anne pergi umrah bersama keluarga termasuk anak keduanya dan guru ngajinya tidak meminta izin terlebih dulu kepada dirinya yang masih berstatus sebagai suami.
“Dan guru ngajinya seharusnya bertanya pada saya sebagai suami, ini istrinya mau pergi dengan saya bagaimana boleh atau tidak. Tugas guru ngaji itu mendamaikan bukan memberikan hukuman pada seseorang. Jadi misal ada murid di pengajiannya bermasalah, tugas guru ngaji mendamaikan, telepon saya ‘ini istrinya ngadu ini’, begitu. Bukan sekadar ngasih air doa agar anaknya lupa sama bapaknya, itu tidak boleh,” pungkasnya.
Usai melayani pertanyaan wartawan, Dedi Mulyadi langsung meninggalkan Pengadilan Agama Purwakarta menggunakan ojek online yang dari awal mengantarnya. (gan)