KARAWANG, RAKA – Orang tua siswa SDN Pinayungan 1 dan SDN Pinayungan II mengeluhkan biaya buku atau pun lembar kerja siswa (LKS) yang dijual sekolah. Untuk kelas 1, buku dijual seharga Rp250 ribu, sementara kelas 2 sampai 6 harganya lebih mahal. Belum lagi, biaya masuk sekolah yang mesti dibayar Rp600 ribu.
Salah satu orang tua siswa berinisial T (45), mempunyai 2 orang anak sekolah di SDN Pinayungan II. Uang pendaftaran siswa kelas I sebesar Rp600 ribu. Uang tersebut belum termasuk untuk pembayaran buku. Anak kelas 1 diwajibkan untuk membayar buku seharga 250.000. Sedangkan anak di atas kelas 1, dikenakan pembayaran buku di atas 250.000. “Anak saya ada 2, yang 1 baru masuk kelas 1. Jadi awal masuk itu ada bayar pendaftaran 600 ribu, dapet baju sekolah. Tapi ternyata masih ada bayaran lagi untuk buku. Kelas 3 itu 300 ribu bayar bukunya, terus setau saya kelas 5 lebih mahal lagi 400 ribu dan kelas 6 itu 350 ribu. Saya keberatan, apalagi anak ada 2 disini. Harus beli, diwajibin beli semuanya,” ujarnya, Rabu (17/7).
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh orang tua siswa lainnya berinisial E (43). Ia mengatakan untuk pembayaran Rp600 ribu itu hanya mendapatkan 2 seragam saja. Selanjutnya untuk seragam pangsi dikenakan biaya tambahan sebesar Rp170 ribu. Akibat biaya yang mahal, hingga sekarang ia belum membeli buku. “600 ribu itu memang cuman di awal doang, dapet baju batik sama olahraga. Tapi ada beli baju pangsi beda lagi, harganya 170 ribu. Ibu belum beli (buku) sekarang juga, pada ngobrol sama ibu-ibu yang lain juga gimana ini. Selain saya juga banyak ortu lain yang ngeluh, utamanya soal buku yang wajib beli. Ajaran pertama beli, sama ajaran kedua juga beli. Ituteh dapet sekitar 8 bukulah, ada yang tipis sama tebel. Kalau dibolehin mah, ibu fotocopy atau beli mandiri. Tapi kata guru sekolahnya, ini bukunya gak ada yang jual di luar, cuman ada di sekolah,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala SDN Pinayungan I, Konaah membantah terkait adanya informasi tentang jual beli buku di sekolah. Ia mengatakan, untuk pembelian buku dilakukan secara kolektif melalui koordinator kelas. Pembelian pun tidak dilakukan di sekolah. “Selama ini tidak ada pembelian buku di sekolah, kami juga tidak ada menjual buku di sekolah. Di sekolah tidak ada, kalau orang tua merasa membutuhkan mereka akan mencari dan ada koordinator kelas yang menangani. Ketika orang tua merasa membutuhkan buku silahkan saja dikelola sendiri,” ungkapnya, Kamis (18/7).
Diteruskannya, buku yang saat ini sudah ada hanya untuk kelas 1,2 dan 3. Kemudian untuk buku khusus kelas 6 belum tersedia. “Kami belum lengkap untuk jumlah buku di sekolah dan kuantitasnya tidak memenuhi. Kalau misalnya kita menggunakan hanya untuk sebagian siswa itu akan menjadi konflik baru lagi. Penyediaan buku yang dianggarkan belum terpenuhi. Kemarin saja baru ada buku untuk kelas 1,2,3 dan yang sekarang kelas 6 yang baru kurikulum merdeka jadi ketersediaan di kami belum ada,” tambahnya.
Selanjutnya bagi orang tua yang tidak mampu dan anak yatim piatu, pihak sekolah akan memberikan kebijakan tersendiri. Ia memberi contoh ketika ada iuran untuk pembangunan, maka untuk orangtua yang mempunyai anak lebih dari 1 di sekolah tersebut serta tidak mampu diperbolehkan untuk membayar hanya satu. “Kalau untuk anak tidak mampu, yatim piatu kami gratiskan itu sudah kebijakan dari kami. Ada juga korlas yang berempati dan mampu justru membantu membayarkan. Misalnya ada orangtua siswa yang punya anak lebih dari 1 di sekolah kami, kalau kami ada gotongroyong pembangunan yang melibatkan orangtua cukup membayarkan untuk satu anak saja,” lanjutnya.
Di tempat yang sama, Kepala SDN Pinayungan II yang diwakilkan oleh Triyanto, anggota Komite SD Negeri Pinayungan II menerangkan, tidak pernah memberikan pengumuman terkait pembelian dan penjualan buku di sekolah. Meski telah ada konfirmasi serta komunikasi dari orangtua untuk menyediakan penjualan buku di sekolah. “Kalau dari Pinayungan II tidak memberi pengumuman supaya membeli buku, karena ada korlas yang bekerjasama dengan komite akhirnya ada komunikasi supaya mengadakan buku tetapi dari pihak sekolah tidak mau. Sampai sekarang memang ada penjual buku yang dari luar tapi itu bukan dari sekolah dan kami tidak mau tahu. Kalau untuk kelas 3 dan 6 belum ada buku sama sekali. Kalau yang kelas 1,2,4,5 ada tapi hanya beberapa jadi tidak mencukupi,” terangnya.
Di sekolah ini sebagian besar siswa merupakan keluarga kurang mampu. Ia menambahkan bagi keluarga tidak mampu di berikan kebebasan dari beban iuran. “Di sekolah kami banyak yang menggunakan KTM, kalau ada iuran tidak membayar tidak jadi masalah. Kayak kemarin ada iuran sebesar Rp30 ribu untuk perpisahan dan bagi yang tidak mampu tidak membayar juga tidak masalah, itu digunakan untuk penampilan anak juga,” tambahnya.
Sri Rahayu Suciati, pengawas Bina Telukjambe Timur mengungkapkan, sudah sering melakukan monitoring kepada semua sekolah yang terdapat di wilayah Kecamatan Telukjambe Timur. Ketika ditemukan adanya keluhan permasalahan, maka akan langsung melakukan konfirmasi kepada pihak sekolah. “Kalau misalnya ada orang tua yang tidak mampu dan berbicara langsung dengan kepala sekolah maka akan diberikan bantuan serta diberikan kebijakan. Saya sering monitoring ke sekolah tidak ada kejadian pembelian dan penjualan buku di sekolah. Kalau ada orangtua yang tidak mampu datang saja ke sekolah untuk meminta keringanan. Saya menangani 19 sekolah di Telukjambe Timur. Kalau memang ada, saya akan konfirmasi secara langsung,” tutupnya. (nad)