Produsen Gula Aren Terbentur Pemasaran

PURWAKARTA, RAKA – Meski usianya sudah senja, namun tidak menyurutkan semangat Halim untuk tetap konsisten memproduksi gula merah di rumahnya di Kampung Sumbersari RT10/03, Desa Pawenang, Kecamatan Bojong.
Pria berusia 78 tahun itu menggeluti usaha gula merah sudah sejak lama. Pada usia 7 tahun Halim sudah mulai belajar menyadap air aren sebagai bahan baku gula yang dia produksi. “Wah sudah lama, sejak usia 7 tahun saya sudah mulai belajar mulai dari menyadap air aren, mengolah hingga pengemasan,” ujar pria yang akrab disapa Abah Halim itu.
Menyadap air aren saat ini sudah tidak dilakukan Aban Halim lantaran tenaganya tidak sekuat dulu. Ia pun mensiasati dengan membeli gula merah dari orang lain untuk diolahnya kemudian.
Cara membuatnya pun terbilang sederhana. Pertama gula merah yang ia beli diolah kembali dengan cara dicampur sejumlah air, lalu direbus di atas perapian sekitar 2 jam. Tujuannya untuk mencairkan gula merah yang sebelumnya sudah keras.
Setelah itu, air gula merah dituangkan ke dalam cetakan yang terbuat dari bambu berukuran kecil yang sebelumnya telah dimodifikasi. Tak berselang lama, hanya hitungan menit, kemudian gula merah milik Abah Halim sudah bisa dikemas.
Dalam pengemasannya pun cukup unik menggunakan daun pohon aren yang telah dikeringkan. Sehingga menghasilkan wangi yang khas. Satu ikat berisi 20 bungkus masing-masing berisi lima butir gula merah.
Gula hasil produksi Abah Halim ini cukup unik selintas mirip permen yang banyak dijajakan di warung-warung. Sehingga dengan kemasan mini seperti ini menjadi pembeda dari gula aren lainnya yang dikemas ukuran jumbo. “Selain berukuran kecil gula merah dibungkus menggunakan daun pohon aren juga memiliki wangi yang khas disamping menjadi pembeda dengan gula pada umumnya,” katanya.
Ia memproduksi gula merah ditemani istrinya bernama Hotimah (67). Mereka mengaku mampu memproduksi 30-50 ikat gula merah setiap harinya. Namun jumlah itu bisa meningkat bahkan menurun tergantung pemesanan. “Soal pemasaran beragam, ada yang langsung datang ke rumah ada juga saya kirim ke dalam dan luar Purwakarta dengan harga Rp15.000 per ikat,” ujar kakek yang memiliki 7 cucu itu.
Meski usahanya terkesan berjalan dengan baik, ia mengaku hanya mendapat pesanan langsung dari rumah. Dia berharap pemerintah membantu mempromosikan dan membuka peluang pasar lebih luas untuk industri rumahan semacam yang digelutinya. “Saya bersama istri tetap konsisten menggeluti usaha ini ingin melestarikan industri rumahan di desa ini yang telah berkembang sejak dulu, untuk itu agar tetap ada, peran pemerintah harus ada terutama soal pemasaran,” pungkasnya. (gan)