
KARAWANG, RAKA – Di balik seragamnya sebagai anggota Polri, Aipda Dindin, seorang polisi di Polres Karawang, menyimpan kisah pengabdian yang luar biasa.
Ia bukan hanya penjaga keamanan, tetapi juga penjaga masa depan anak-anak melalui pendidikan agama.
Bukan dengan modal besar atau dukungan instansi, ia memulai semuanya dari sebuah pengajian kecil di rumahnya pada tahun 2008.
“Awalnya hanya beberapa santri yang belajar di rumah. Tapi lama-kelamaan, orang tua sekitar mulai menitipkan anak-anak mereka. Semakin banyak yang datang, semakin besar tanggung jawab yang saya rasakan,” kisahnya.
Melihat antusiasme itu, ia pun membangun sebuah mushola kecil sebagai tempat belajar, yang disihkan dari sisa-sisa gajihnya sebagai anggota Polri.
Baca Juga : Guru Ngaji Hingga Marbot Dapat Insentif
Tidak ada kemewahan, hanya tekad dan keikhlasan. Mushola itu dibangun dari hasil sisa-sisa gajihnya sebagai anggota Polri, menjadi awal dari madrasah yang kini menampung hingga 140 santri.
Awalnya, madrasah ini berdiri di atas tanah kosong di perumahan tempatnya tinggal. Ia meminta izin kepada pengembang agar tanah tak bertuan itu bisa dimanfaatkan.
“Saat itu, belum ada yang membangun di lahan kosong itu, jadi saya urus izinnya. Dari mushola kecil, akhirnya berkembang menjadi satu lokal madrasah,” ujarnya.
Namun, lahan itu bukanlah miliknya. Hingga suatu hari, datang seorang warga yang hendak menjual tanah di dekat lokasi madrasah. Aipda Dindin pun berusaha mencari donatur agar madrasah memiliki tempat permanen.
“Qadarallah, Pak Kapolres melihat kegiatan saya di madrasah dan sangat mendukung. Beliau dengan penuh kepedulian akhirnya mewakafkan tanah yang dibeli dari warga untuk pengembangan madrasah ini,” kenangnya penuh syukur.
Menjadi seorang polisi bukan tugas ringan. Tapi di tengah jadwal yang padat, Aipda Dindin tetap meluangkan waktu untuk mendidik para santrinya.
“Dulu saya mengajar ba’da Maghrib, saat santri masih sedikit. Tapi semakin bertambahnya murid, kami mulai menyesuaikan jadwal, mengikuti sistem belajar SD pagi atau siang,” jelasnya.
Kini, ia tidak sendiri. Istrinya dan dua guru lainnya ikut membantu mengajar, menjadikan total tenaga pengajar di madrasah ini empat orang.
Madrasah ini terbuka bagi siapa saja. Namun, bagi anak yatim, piatu, dan keluarga kurang mampu, Aipda Dindin memastikan mereka tetap bisa belajar tanpa hambatan.
“Bagi orang tua yang sejak awal menyampaikan bahwa mereka kesulitan finansial, kami bantu, termasuk buku-buku dan keperluan belajar lainnya,” ungkapnya.
Dengan sistem ini, sejak tahun 2013, madrasahnya telah melahirkan banyak alumni yang kini melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Aipda Dindin tidak meminta imbalan atas apa yang ia lakukan. Ia hanya berharap madrasah ini bisa terus berjalan dan berkembang.
“Saya ingin madrasah ini terus memberi manfaat. Saya ingin walaupun saya seorang polisi, saya tetap bisa menebarkan kebaikan, khususnya dalam dunia pendidikan. Semoga suatu hari nanti, madrasah ini bisa berkembang lebih jauh, bahkan memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi,” harapnya.
Kisah Aipda Dindin adalah bukti bahwa seorang polisi bukan hanya penegak hukum, tetapi juga penjaga moral dan masa depan.
Ia mengajarkan bahwa kebaikan tidak mengenal profesi, dan bahwa setiap langkah kecil yang dilakukan dengan hati bisa membawa perubahan besar bagi banyak orang.(uty)