Akademisi: Narasi Soekarno ‘Diculik’ Perlu Diluruskan
KARAWANG, RAKA- Karawang, menjadi salah satu daerah yang berperan penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 1945 lalu. Soekarno dan Moch Hatta singgah terlebih dahulu ke Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan RI.
Selama ini, Soekarno dinarasikan ‘diculik’ ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Namun, istilah penculikan tersebut digugat karena dinilai tidak pas, terutama oleh kalangan akademisi. “Jujur kami sebagai pendidik tidak setuju ada istilah diculik karena memang kesannya tidak baik, dalam sudut pandang kami peristiwa revolusioner muda Chaerul Saleh, Wikana, dan Soekarni menjemput Soekarno dan Hatta dari Jalan Menteng 31, Jakarta menuju Rengasdengklok, Karawang adalah upaya penyelematan dan pengamanan,” kata Dosen Universitas Negeri Surabaya Dr Martadi saat menjadi pembicara dalam Forum Grup Discussion (FGD) penelusuran dan pelurusan peristiwa 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, Kamis (20/7).
Kemungkinan kesan diculik itu hadir, lanjutnya, karena salah seorang dari ketiga revolusioner muda yakni Chaerul Saleh itu membawa senjata, dan seolah ada upaya ancaman dalam peristiwa penjemputan itu. “Kemungkinan narasi diculik itu karena sosok Chaerul Saleh ini memang dikenal keras dan suka membawa senjata jadi seolah seperti ada upaya pengancaman,” ujarnya.
Narasi diculik juga katanya pernah muncul di salah satu koran di Belanda. “Penculikan itu juga pernah ditulis jadi judul sebuah koran di Belanda yang mungkin melihat sudut pandang dari sosok ketiga revolusioner muda tersebut,” terangnya.
Pembicara lainnya Dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta Dr Suyatno juga memaparkan hal sama, ia mengatakan bahwa peristiwa 16 Agustus 1945 adalah letupan yang telah terpendam ratusan tahun. “Momentum Jepang menyerah menjadi kesempatan untuk lahirnya letupan yang sudah terpendam sejak ratusan tahun dan terjadilah upaya agar segera merdeka yang digawangi golongan muda tentunya menjemput Soekarno dan Hatta, bukan istilah diculik yang berkesan tidak baik,” ucapnya.
Sementara itu, mantan Ajudan Presiden Soekarno yang juga Wantimpres Drs Sidarto Danusubroto, mengusulkan nama nama para pelaku sejarah detik-detik proklamasi pada peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 diabadikan sebagai nama jalan.
Sudarto mengungkapkan, sejumlah tokoh nasional dalam peristiwa Rengasdengklok sudah selayaknya diberikan penghargaan. Alasanya, meski berada di belakang layar, peran mereka cukup vital dalam membantu Soekarno-Hatta mendeklarasikan kemerdekaan. Salah satunya dengan mengabadikan nama mereka sebagai nama jalan. Tokoh tokoh yang dimaksud seperti Wikana, Singgih, Soekarni, Ahmad Soebarjo, Chaerul Saleh. “Pemkab Karawang saya rasa perlu memberikan apresiasi kepada tokoh tokoh ini, karena Karawang menjadi bagian tak terpisahkan dari peristiwa detik detik proklamasi RI Agustus 1945,” paparnya.
Sudarto juga menyebut sosok Djiaw Kie Siong, pemilik rumah yang dijadikan tempat perundingan menyusun naskah proklamasi, sebagai tokoh yang juga layak namanya diabadikan sebagai nama jalan. Pasalnya, Djiaw Kie Siong merupakan tokoh Tionghoa yang juga Tentara PETA. “Dari Djiaw Kie Siong ini kita bisa memetik pelajaran, meski bukan asli pribumi, sumbangsih dan jasanya bagi bangsa kita sangat besar. Kalau dijadikan nama jalan, akan menimbulkan rasa kebhinekaan, masyarakat tionghoa pasti merasa terwakili dan mendapatkan tempat di Karawang,” terangnya.
( berlangsung sekitar pukul 03.00 dini hari, sehari menjelang kemerdekaan Indonesia. Dan Chaerul Saleh dengan membawa senjata yang biasa dibawanya menjadi kesan narasi diculik itu hadir,” tandasnya.
Hasil FGD tersebut menghasilkan sebuah rekomendasi dari Pemkab Karawang kepada pemerintah pusat agar narasi diculik ini diubah menjadi upaya penyelamatan dan pengamanan. (nad)